'I wake up, my shoulder's cold
I've got to leave here before I go'Aku memasang earphone di telingaku. Lagu yang terputar Campus by Vampire Weekend. Hari ini aku kesiangan (lagi). Dengan buru-buru aku mengenakan seragam. Selepas menelan selembar roti tanpa selai, aku bergegas menyalakan mesin motorku.
'I pull my shirt on, walk out the door
Drag my feet along the floor'Sinar matahari yang menyilaukan seperti menceramahiku untuk bangun lebih pagi lain kali. Sebenarnya tadi ibu sudah membangunkanku pagi-pagi buta. Namun setelah alasan 'lima menit lagi', aku tertidur sampai pukul 6 pagi. Sejujurnya itu sudah cukup pagi kalau jam masuk sekolahku bukan setengah tujuh pagi.
'I pull my shirt on, walk out the door
Drag my feet along the floor'Aku hanya menyikat gigiku lalu sarapan seadanya. Parahnya aku lupa menyetrika bajuku kemarin malam. Hari ini Senin, waktunya upacara bendera dan aku tidak bisa menemukan dasiku. Kutarik gas lebih dalam untuk menambah kecepatan. Kali ini aku benar-benar tidak bisa telat lagi.
'Then I see you, you're walking 'cross the campus
Cruel professor, studying romances'Rumahku sebenernya tidak terlalu jauh dari sekolah. Dalam waktu 10 menit aku sudah sampai. Tapi sepersekian detik sebelum aku berhasil melewati gerbang sekolah Pak Satpam menghadang jalanku. Aku menarik tuas rem kuat-kuat, membuatnya berdecit keras hingga membuat Pak Satpam menoleh. Dia yang sebelumnya hendak menutup gerbang seketika membatalkan niatnya.
'How am I supposed to pretend
I never want to see you again?'Dengan wajah terkejut dia berteriak, "Kamu mau nabrak saya, ¹Nduk?!"
Aku menjeda lagu yang kudengar dari earphone "Eh maaf, enggak gitu, Pak. Saya tadi mau lewat terus tiba-tiba ada Bapak," jawabku sambil menempelkan kedua telapak tanganku di udara.
"Lagipula naik motor ngebut, takut telat pasti kamu. Jam berapa sekarang?" Pak Satpam menunjuk ke arah pergelangan tanganku.
Aku sekejap melihat pergelangan tanganku lalu dengan wajah bingung berkata, "Ehm, Pak. Saya lupa bawa jam tangan. Emang sekarang jam berapa, Pak?"
Pak Satpam melihatku lamat-lamat sebentar, lanjut menepuk dahinya pelan. Sekarang pandangannya mengarah ke jam tangannya sendiri. "Pukul 6.32, kamu udah telat. Siswa telat dilarang masuk ke lingkungan sekolah kecuali ditemani orang tua."
Pak Satpam menutup kalimatnya sembari menyeret kembali gerbang sekolah. Aku yang masih berada di luar gerbang memajukan ban motorku sehingga gerbang tidak bisa ditutup. Melihatnya Pak Satpam melotot ke arahku,
"Ngapain kamu?! Peraturan harus ditaati. Kamu gak boleh masuk. Cepet mundur! Mau saya tutup gerbangnya."
"Ayolah, Pak, baru lebih dua menit. Lagipula itupun kayaknya gara-gara Bapak ngajak saya ngobrol. Kalau gak gitu pasti saya udah datang sebelum telat." Ucapku dengan muka sok memelas.
"Hmm...," Pak Satpam memegang dagunya dengan alis menyatu. "Oke Bapak lepaskan kamu kali ini. Tapi kalau sekali lagi saya liat kamu telat lagi, saya bakal langsung tutup gerbangnya meskipun kamu ngajak saya ngobrol."
"Makasih banget, Pak." Pak Satpam mengangguk sambil membuka gerbang sekolah.
Aku melewati gerbang sekolah dengan senyum mengembang. Rasanya seperti melewati garis finish di tes lari 500 meter. Sebelum perasaan itu hilang saat tangan Pak Satpam menahan laju motorku.
"Eits, jangan kesenengan dulu! Nama kamu siapa dulu?" Tanya Pak Satpam sambil memasang muka sangar. Kumisnya yang tebal berkedut sesekali.
"Prajna Bhanurasmi, Pak." Sahutku setelah menelan ludah.
"Kamu kira saya bodoh? Mana kartu siswa kamu? Hafal saya sama kelakuan anak-anak jaman sekarang kalau ditanya nama. Pasti jawabnya pake nama temen atau nama karakter Wattpad." Aku tertegun menyadari tingkat literasi Pak Satpam yang lebih bagus daripada diriku.
Aku membuka dompet dan mengeluarkan kartu siswaku dari sana. Kemudian dengan tangan gemetar menyerahkannya ke Pak Satpam. Pak Satpam melihat kartu itu sebentar lantas tersenyum lebar hingga deret giginya yang kuning karena rokok dan kopi terlihat. Tolong lepaskan aku dari mimpi buruk ini secepatnya.
"Oke, kamu jujur ternyata anaknya. Ini kartunya, lain kali bangunnya lebih pagi. Sama satu lagi, seragamnya disetrika. Kamu anak cewek, lho."
Wajahku menghangat saat menerima kartu siswaku. Aku tersenyum kecut setelahnya segera menarik gas dan pergi ke parkiran. Wajahku pasti sudah merah metalik. Aku menggeleng kuat. Bukan! Ini bukan cinta, tapi malu. Hal memalukan yang tidak akan bisa kulupakan kecuali aku memgidap demensia. Aku merasa jadi manusia paling bodoh. Bagaimana bisa aku lupa memakai cardigan? Pasti Pak Satpam melihat kemejaku yang penuh kerut.
Aku memarkir sepeda motorku sembarangan. Tasku kutinggal di stang Barbara, motor matic-ku, begitu saja. Secepatnya aku berlari ke lapangan belakang sekolah tempat upacara berlangsung. Sepatuku menyusuri hamparan rumput basah itu, aku mendongak dan menoleh sambil mencari barisan kelasku. Barisannya pasti ada di pojok mengingat kami kelas IPS 3.
Setelah beberapa saat melihat sekeliling, aku menemukan Kala, ketua kelas kami. Dia bersikap sempurna di samping kanan barisan sebagai pemimpin barisan. Aku segera mengambil tempat yang masih kosong di belakang. Harusnya aku sudah bisa bernafas lega karena tidak jadi telat.
Akan tetapi muncul masalah baru sekarang. Bu Hana, guru kesiswaan, sedang berpatroli di belakang barisan kelas 10. Beliau mengawasi tiap barisan dari segala sisi, mencari siswa yang tidak mengenakan atribut seragam dengan lengkap. Satu persatu anak dari barisan kelas lain ditarik keluar barisan oleh Bu Hana. Mereka yang ditarik akan ditaruh di barisan tersendiri yang menghadap barisan kelas.
Barisan tersendiri itu disebut Barisan Pelanggar. Berada di tempat terpanas dari seluruh lapangan, barisan tersebut diposisikan sedemikian rupa agar setiap siswa bisa melihat para pelanggar. Dengan begitu, pelanggar akan merasa malu dan jera. Matahari pagi selalu menyinari barisan ini berada terlebih dahulu. Dengan segala karakteristik itu, Barisan Pelanggar adalah tempat hukuman yang paling kuhindari. Sialnya, sebentar lagi aku akan berada di sana.
Setelah banyak berdoa, akhirnya aku berakhir di Barisan Pelanggar. Aku menunduk sepanjang upacara berlangsung. Sumpah! Selama hidup ini adalah hari tersial yang pernah kualami.
Upacara bendera berakhir, seluruh peserta upacara meninggalkan lapangan. Setelah diceramahi dan mendapat pengurangan poin, Barisan Pelanggar dibubarkan. Aku melangkah loyo menuju kelas. Belum menyentuh pintu kelas aku balik kanan dan berlari ke arah parkiran. Aku melupakan tasku.
Untungnya tasku masih utuh di tempat yang sama. Aku kembali menuju kelas setelah pamitan dengan Barbara. Di ujung lorong aku melihat sosok yang familiar. Dia berdiri di depan pintu masuk toilet sambil melihat sekeliling. Dalam sekejap sosok itu sudah masuk ke dalam toilet. Aku mengenalnya, dia teman sekelasku, Andri. Pasti dia bolos lagi. Yah, apapun itu bukan urusanku. Aku kembali ke kelas sebelum pelajaran pertama dimulai.
Hari ini pelajaran ekonomi. Tidak, aku tidak bisa memahami apapun dari pelajaran ini. Aku mengambil tasku dan menaruhnya di atas meja. Menata buku di dalamnya dengan rapi lalu menutupnya kembali. Ketika mulai memejamkan mata aku dikejutkan oleh Pak Khoirul yang tengah marah.
"Anak kurang ajar! Beraninya dia bolos pelajaranku lagi. Kalian semua buka buku paket halaman 23. Kerjakan soalnya, saya mau keluar sebentar." Setelah berkata seperti itu Pak Khoirul bergegas keluar kelas.
Anak-anak yang menyadari mereka mendapat jam kosong mulai mengobrol, bahkan ada juga yang membuka bekal. Aku memasang kembali earphone-ku. Meletakkan kepalaku di atas bantal (re: tas). Kuketuk tombol play untuk memutar ulang lagu yang kujeda tadi.
'How am I supposed to pretend
I never want to see you again?'__________________________________________________________
It's just a bad day, not a bad life.
~Unknown
__________________________________________________________
¹ Panggilan yang berarti "Nak" untuk anak perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Getun
Teen FictionBagaimana kalau penyesalan terbesar dalam hidup adalah hidup itu sendiri? Cerita ini memiliki sudut pandang orang pertama yang berbeda setiap bagiannya. Siapkah kamu melihat dengan mata mereka? p.s. : Cerita ini sudah di unpublish dan disunting sede...