Gema detak sepatu di lorong yang kosong karena pelajaran sedang berlangsung terdengar tidak biasa. Agak buru-buru namun sesekali berhenti. Itu langkah guru killer-ku yang sedang menarik kerahku menuju ruang BK. Dia memergokiku merokok di dalam toilet.
"Liat bocah ini! Ngerokok di dalam toilet saat jam pelajaran. Lebih parahnya lagi, ini bukan kali pertama." Suara Khoirul memenuhi ruangan.
Bu Eni, guru BK tergopoh menyambutku demi melihat guru "edan" itu menarik kerahku sepanjang perjalanan. Aku terpaksa membungkuk sepanjang perjalanan karena ia juga cebol. Sekali lihat pun pasti tahu kalau orang ini punya masa sekolah yang kelam sehingga membuatnya menjadi menyebalkan.
"Pak Khoirul, bukankah berlebihan menarik kerah siswa seperti itu? Leher kamu nggak sakit kan, Nak?" Tanya Bu Eni sambil menarikku untuk duduk di sebelahnya.
"Gak apa-apa kok, Bu," jawabku lirih, bohong kalo aku bilang itu tidak sakit. Area leherku sangat panas dan warnanya pasti kemerahan sekarang.
Ruangan sembilan meter persegi ini agak lembab, pasti karena di depan bangunannya terdapat pohon jambu dersana. Akan sulit membersikan sampahnya apalagi sekarang sudah masuk musim panennya. Jangan lupakan fakta kalau pohon ini cangkokan, pasti buahnya banyak. Bunganya akan gugur dan mengotori halaman ini.
"Bocah ini sudah tidak bisa ditolong, Bu Eni. Kenapa ibu masih bersikeras?" Suara si Khoirul kembali memenuhi ruangan.
"Tidak ada siswa yang tidak bisa ditolong, Pak Khoirul. Lagipula wajar anak melakukan kenakalan saat pubertas. Lagipula Andri masih kelas 10." Bu Eni menoleh ke arahku, aku langsung menunduk.
"Saya gak punya cukup banyak waktu untuk mendidik siswa semacam ini, di kelas ada 29 anak lain yang membutuhkan saya. Enggak mungkin saya lebih milih anak tidak berguna ini daripada murid sekelas yang masih bisa diberi pengertian." Mulut itu sepertinya bisa jadi samsak tinju yang bagus.
"Bapak tidak perlu mencari dia setiap dia tidak ada di kelas. Saya bisa mencarikannya untuk bapak," bujuk Bu Eni.
"Kenapa ibu yang repot jadinya? Keluarkan saja anak rusak macam ini. Dia di sini cuma memperburuk citra kita sebagai sekolah favorit." Aku mematung.
Dikeluarkan? Bukannya bagus? Aku jadi tidak harus bertemu dengan si Khoirul sialan. Tapi apa keluargaku akan menerimanya? Maksudku, ayolah! Aku hidup saja sudah dianggap sebagai pembawa nasib buruk. Pada akhirnya aku hanya akan jadi aib di keluarga busuk itu. Sekolah mana yang menerima anak yang di drop out? Aku tidak kaya seperti Alicia ataupun berkoneksi seperti Kala. Apa aku akan berakhir seperti ini saja?
Aku disuruh kembali ke kelas karena pelajaran masih berlangsung. Hari ini yang terburuk, kenapa aku harus kembali ke kelas saat pelajaran matematika? Pelajaran yang menyebalkan. Aku bolos juga karena menghindari kelas ini. Kenapa juga pelajaran menyebalkan selalu ditaruh di hari Senin? Sudah bagus aku masih ikut upacara bendera. Semoga kali ini aku tidak disuruh maju ke depan untuk menjawab soal.
"Permisi, Bu." Aku berjalan melewati daun pintu setelah mengetuknya, lalu bergegas menghampiri meja guru.
"Dari mana saja kamu?" Tanya Bu Sri dengan nada datar.
"Ruang BK, Bu" Kenapa sesi pertanyaan ini harus dilakukan, sih? Menyebalkan.
"Oh, kamu yang alfa di pelajaran sebelumnya? Ekonomi Pak Khoirul, benar?" Selidik Bu Sri.
"Be-benar, Bu"
"Lantas kenapa kamu balik ke kelas? Bolos jangan setengah-setengah. Silahkan lanjutkan sampai bel pulang. Kelas ini tidak menerima kamu." Bu Sri menjulurkan tangan, menyuruhku keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Getun
Teen FictionBagaimana kalau penyesalan terbesar dalam hidup adalah hidup itu sendiri? Cerita ini memiliki sudut pandang orang pertama yang berbeda setiap bagiannya. Siapkah kamu melihat dengan mata mereka? p.s. : Cerita ini sudah di unpublish dan disunting sede...