Ini Semua Karena Bocah Itu!

1.5K 316 18
                                    

Karina duduk termenung di pinggiran kasurnya, matanya menatap kosong lantai kamar, kedua tangannya terus memantulkan bola basket ke lantai dengan lemas. Dia mengingat-ngingat apa yang telah diperbuatnya tadi siang di sekolah.

"Arghh, pasti dia bakal takut sama gue!" Karina merutuki perbuatannya, memangku dan memeluk Winter lalu melepas pelukannya tiba-tiba dan menyuruh Winter berdiri dan Karina pergi meninggalkan Winter sendirian begitu saja. Bodoh sekali.

"Duh kalau dia kira gue cabul gimana?!" Dia berdialog sendiri dengan bola yang terus memantul. Keningnya mengerut cemas, membayangkan reaksi Winter besok jika mereka bertemu. Duh, tidak usah dibayangkan Karina sudah menebak pasti gadis itu semakin takut padanya.

Hei, jangan kira Karina tidak tahu jika Winter selalu takut saat menatapnya karena tatapan tajam Karina begitu menusuk. Karina sadar itu, tapi dia tidak bisa melembutkan tatapannya karena dia selalu gugup jika berhadapan dengan Winter. Agar tidak tampak gugup, dan menjaga wibawanya, dia selalu menunjukkan tatapan tajam itu.

Karina menjatuhkan badannya terlentang di kasur, kakinya bergantung, dia mengangkat bola basket itu dan menatapnya,

"Winter, please keluar dari otak gue," katanya pada bola basket tak bersalah itu.











Paginya saat Karina turun di halte depan sekolah, dia masih belum melihat tanda kedatangan seonggok manusia pendek yang akhir-akhir ini menghantui pikirannya. Iya, Karina tahu jika Winter juga naik bis ke sekolah, tapi bis mereka selalu berbeda saat berangkat tapi mereka selalu bareng saat pulang. Sudahlah, kenapa membahas Winter lagi. Karina lelah sekarang kata yang ada di pikirannya hanya Winter, Winter, Winter, padahal sekarang kan musim durian.

Karina melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah, menyapa satpam sekolahnya dengan senyum dan membungkuk. Banyak murid yang mengenalnya, menyapa Karina, dibalas dengan senyum tipis agar tidak dikata songong. Karina segera menuju kelasnya yang berada di lantai 3, hari ini dia tidak ada jadwal piket.
Sejauh ini paginya berjalan dengan lancar, tapi ada satu yang kurang, dia belum melihat Winter.














Keadaan kelas 10 MIPA 3 pagi ini sudah menyaingi Pasar Senen, ramai, ricuh, berantakan, kacau pokoknya. Ada yang naik-naik kursi, kejar-kejaran, corat-coret papan, menggosip di belakang, yang paling tenang ya tidur. Jam pelajaran pertama ini mereka dapat jamkos karena guru bahasa Indonesia mereka, Pak Kadir dikabarkan kena cacar air. Kabar buruk tapi bagi murid kelas 10 MIPA 3, kesempatan jamkos tidak bisa disiakan.

Tumben sekali Winter tidak ikut merusuh di kelasnya bersama unyil-unyilnya. Dia malah bersemedi di bangkunya, sikunya bertumpu di meja, menopang dagunya. Dalam kepalanya, dia dibayang-bayangi kejadian tak terduga, atau bisa kita bilang tragedi? Kakak kelasnya yang sepertinya punya dendam kesumat setiap menatap Winter, tiba-tiba menyuruh Winter duduk di pangkuannya, lalu dia peluk Winter. Argh, memikirkannya Winter masih setengah bingung dan takut sebenarnya.

Benarkan tebakan Karina, Winter pasti takut.

Entah apa yang membuatnya takut, apakah karena Karina itu terlihat galak? Menyeramkan? Seperti pedofil? Atau dia takut jatuh cinta?

Ah, lupakan pertanyaan terakhir. Mana bisa Winter jatuh cinta sama tiang berjalan, yang puasa ngomong hampir tiap hari, yang nggak pernah senyum, tatapannya selalu menusuk bagai belati. Hiiihh seram lah pokoknya kalau jadi pacar Karina.












"Sel, kayaknya gue suka sama Winter."

Byurrr (emang suara air muncrat byur?)

Seketika Giselle yang sedang meminum es tehnya, dimuncratkan begitu mendengar ucapan Karina.

Kini mereka berdua sedang berada di kamar Giselle. Rencananya, Giselle mau minta ajarin Matematika buat ujian, kan, Karina anak MIPA tuh pasti otaknya lebih encer. Tapi tidak jadi, malah main PS, ujiannya minta bocoran saja.

"Hah?"

"Gue, suka, sama, Winter," ulang Karina kelewat santai.

Giselle masih tidak menyangka, sahabatnya satu ini bisa sekalem itu saat menyatakan perasaannya, ini Karina kelewat waras sepertinya.

"Rin, lo nggak lagi sakau kan?" Giselle mengamati ekspresi wajah Karina membuat Karina risih sendiri, dia mendorong muka Giselle menjauh dengan telapak tangannya.

"Serius, Sel."

"Gue juga serius, Rin, biasanya orang mah malu-malu ngomong suka seseorang, lah lo sesantai ini..."

"Emang gue harus berekspresi gimana?"

Giselle mendengus, ya sudahlah memang Karina seperti itu kan.

"Ya udah, jadi, lo suka sama Winter?"

Karina mengangguk yakin.

"Terus sekarang lo mau gimana?"

"Nggak tahu, ini gue tanya lo karena gue juga nggak tahu."

Ya, benar sih. Oke, Giselle yang bodoh.

"Ya, deketin lah, gas!" Ucap Giselle persuasif.

"Deketin? Gimana?"

"Anter pulang, ajakin makan bareng, pergi berdua- EH MINTA NOMOR HAPENYA!"

"Ya udah nanti gue minta."

Tidak adakah ucapan terima kasih atas sarannya? Giselle sudah bosan mengelus dada sendiri akibat Karina, dada siapa lagi yang harus dia elus?

"Tapi, Winter nggak suka sama gue..." Lirih Karina yang menunduk melihat kakinya sendiri.

Giselle baru kali ini melihat Karina galau, dari kecil tidak pernah ada kisah cinta Karina. Dia jadi tahu sisi lain dari seorang Karina yang kaku. Dan hanya ada satu orang yang membuat Karina seperti sekarang, adik kelas mereka, bocah yang dipeluk Karina di lapangan basket, Winter.

A.N Malam readersku tersayang, jangan lupa vote ya 😘

Tresna ; WINRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang