bab 3
"Kamu bilang apa Put?"
"Babi ngepet! Kenapa? Bukankah itu yang Mbak Rina inginkan?" Puput mengulangi perkataanya kembali sambil melotot ke arahku.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku.
"Bukan urusanmu!"
Puput mendorong tubuhku kemudian dia melengos begitu saja dan masuk ke kamarnya. Lalu menutup pintu kamarnya dengan kasar.
Braak!
Aku memejamkan mataku. Kenapa Puput berkata seperti itu, apakah ia sebenarnya sudah tahu? Apakah Bapak dan Puput bersekongkol menjadikanku babi ngepet! Lalu kenapa? Bukankah aku anak bapak juga, dan Puput adalah adikku. Namun, kenapa adikku malah seperti ini kepadaku. Apa dia masih marah kepadaku.
Perekonomian keluargaku memang sedang berada di bawah saat ini. Aku tidak tahu bagaimana awalnya yang jelas bapak terlilit hutang begitu besar. Pak Jonatan bersedia membantu masalah bapak asalkan aku mau menikah dengannya. Itu tak mungkin. Pria bernama Jonatan itu lebih pantas aku panggil kakek dari pada menjadi suamiku.
Tentu saja aku menolak. Puput setiap hari merayuku untuk menerima Pak Jonatan.
"Mbak ... terima ya, Puput mohon. Puput nggak mau berhenti kuliah. Puput nggak mau kehilangan si merah," rengek Puput sambil menangis tanpa memikirkan bagaimana posisiku. Si merah adalah mobil jazz kesayangannya.
"Mbak nggak bisa Put," jawabku. Akan tetapi Puput tak mau tahu dan tak mau mengerti. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Tak mau kehilangan rumah, tak mau kehilangan mobil, tak mau kehilangan kemewahan. Bapak memang terlalu memanjakannya.
Sampai akhirnya Pak Jonatan datang dan aku menolak keinginannya untuk mempersuntingku.
"Bagaimana?" tanyannya.
"Maaf Pak, saya nggak bisa," jawabku. Kupikir bapak sebagai orang tua bakal membelaku. Namun tidak, setelah Pak Jonatan pergi bapak memarahiku habis-habisan.
"Dasar anak tak tahu diuntung, anak tak tahu diri, anak tak tahu balas budi. Harusnya kamu menerima keinginan Pak Joe, agar keluarga kita selamat dari kebangkrutan," teriak bapak. Ia lemparkan vas bunga yang ada di meja.
"Besok kita harus mengosongkan segera rumah ini dan kabur, atau kalau tidak. Para depkolektor itu bisa berbuat apa saja. Sebelum hal itu terjadi, kita harus segera pergi!" ucap Bapak.
Aku sedang berkemas siang itu ketika Puput pulang dengan menangis tergugu.
"Ini semua gara-gara mbak Rina. Coba saja Mbak mau menikah dengan Om Jonatan, semua masalah ini pasti akan selesai. Andai om Joe mau denganku," kata Puput yang merasa kecewa karena depkolektor telah menyita mobil jazz nya dengan paksa di kampus. Belum lagi kami memang harus lari dan bersembunyi. Siang itu kami terpaksa harus meninggalkan rumah.
Sebuah desa yang sangat terpencil menjadi tujuan bapak. Setidaknya uang bapak masih cukup untuk membeli rumah kecil di kampung. Desa keramat, begitulah namanya. Ibu yang memang memiliki riwayat penyakit asma, sejak tinggal di kampung dengan udara dinginnya menjadi sering kambuh. Kami membuka toko sembako kecil-kecilan untuk menyambung hidup. Sementara itu, bapak berusaha mencari pekerjaan.
"Aku capek!" keluh Puput. "Di sini nggak ada sinyal dan kalaupun ada itu sering kali lelet." Puput melempar gawainya ke meja.
"Kenapa kamu mengeluh terus sih, Dek!" kataku.
"Aku kangen kota Mbak. Jalan-jalan, shoping, makan-makan, pergi ke salon. Sekarang kulitku buluk kayak orang kampung! Coba saja mbak Rina nggak egois!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Babi ngepet
Viễn tưởngMenjadi babi ngepet bukanlah keinginanku, aku dijebak oleh Bapakku Sendiri! RINA.