2. The Devil's Trial

5 3 0
                                    

Sinar matahari yang menyilaukan menembus melalui jendela apartemen, orang orang beraktifitas seperti biasa, kota yang sangat sibuk tanpa istirahat, kecuali seorang perempuan dewasa dengan kepala botak dengan banyak bekas luka di sekujur tubuhnya, ia hanya diam, tanpa memperdulikan hiruk pikuk kota yang dilihatnya dari jendela lantai dua puluh tiga.

"Tahukah kamu, semakin manusia bertumbuh dewasa, semakin redup sinar kita, dulu aku memiliki mimpi, tiap hari sangat menyenangkan bagiku, aku memiliki hari esok, aku selalu ingin menjadi penyanyi sopran terbaik di kota ku"

Damien mendengarkan ucapan Alessa   namun tidak meresponnya, ia membiarkan Alessa mengatakan apapun yang ingin ia katakan.

Baru seminggu berlalu sejak kejadian itu berlangsung, rasanya seperti baru kemarin, dan selama seminggu itu, Damien tidak mengganggu Alessa sama sekali karena Alessa sendiri yang meminta Damien tidak melakukan apapun di dalam apartemennya.

"Stuck in the light of day, waiting for answers..."

Alessa bergumam, menyanyikan potongan lirik lagu untuk menghibur dirinya.

"Nyanyikan lagi" pinta Damien. "Tolong, sekali saja"

"Bukankah sudah kubilang kau diam saja" jawab Alessa.

"Aku lelah hanya mematung, aku bosan hanya menemanimu diam seperti ini" jawab Damien.

"Kenapa kau patuh sekali? Kukira kau akan melawan" tanya Alessa.

"Jika aku mau kembali menjadi iblis, aku tidak boleh melakukan sifat manusia, melanggar adalah sifat alami manusia dan aku tidak akan melakukannya, jika aku terus melakukan sifat manusia aku akan menjadi manusia seutuhnya" jawab Damien

"Oh, begitu" jawab pendek Alessa.

"Karena itu tolong nyanyikan lagi lagi yang tadi kau nyanyikan" pinta Damien.

Namun alih alih menjawab Damien, Alessa meninggalkannya sendirian di ruang tengah, ia masuk ke kamar dan mengunci pintu.

"Jangan masuk!!" Ucap Alessa dari dalam kamar.

Ia membanting dirinya ke kasur yang empuk, menutup kepalanya yang masih botak dengan bantal, membayangkan semua yang telah terjadi.

Wangi tubuh Edwin, anaknya yang telah meninggal itu seakan tercium kembali, membuat batin Alessa kacau, mengingat masa masa saat ia memandikannya sejak bayi, mengantarkannya ke TK, menggendongnya saat Edwin menangis tidak bisa tidur.

"Mungkin Damien gak akan sadar, dia kan lagi diluar" gumam Alessa.

Dengan keputusan yang bulat, Alessa masuk ke dalam kamar mandi didalam kamarnya dengan langkah perlahan, mencoba tidak membuat suara, dan mengambil obat tidur di belakang cermin kamar mandi.

Ia mengeluarkan semua obat itu ke tangannya, bersiap menelan semuanya.

Lalu setelah menelannya, ia menahan muntah dan meminum air keran agar semuanya tertelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lalu setelah menelannya, ia menahan muntah dan meminum air keran agar semuanya tertelan.

Alessa mulai kejang kejang, menimbulkan suara gaduh dari kamar mandi.

Di luar kamar, Damien yang sedang terduduk diam dikagetkan oleh sosok malaikat pencabut nyawa yang datang, ia membawa sabit dan mengenakan jubah hitam, membawa buku dan pena seakan memiliki tugas untuk mencabut nyawa seseorang.

"Kenapa kau kemari?" Tanya Damien masih tidak menyadari sesuatu.

Malaikat itu diam tidak menghiraukan Damien, karena Damien bukan tugasnya.

"Lalu kalau kau kesini bukan karena ada urusan denganku, berarti..." Pikir Damien. "Apa?! Astaga"

"Alessa!" Panggil Damien menggedor pintu kamar.

Damien tahu ia harus menaati seluruh perkataan Alessa, ia tidak boleh masuk kedalam kamar karena Alessa tidak mengizinkannya, tapi tidak diizinkan bukan berarti ia tidak bisa melakukannya.

Berpacu dengan waktu, seakan berlomba dengan si malaikat maut yang dengan mudahnya masuk kedalam menembus dinding, Damien tak lagi berpikir panjang.

Dengan nekat, Damen mendobrak pintu kamar dan menemukan tubuh Alessa yang sedang sekarat, busa keluar dari mulutnya.

"Pergi! Jangan jemput dia, jangan sekarang!" Bentak Damien ke malaikat itu yang kemudian pergi dari sana, menembus dinding dan menghilang.

Damien memeluk Alessa, matanya berkaca kaca, ini pertama kalinya ia merasakan gejolak emosi dari dalam tubuhnya.

"Ah sial, sifat manusia...." Gumamnya sambil menyapu air mata yang mengalir dari matanya.

Ia mencium bibir Alessa, menghisap semua isi perutnya dan memegang perutnya, menyembuhkan Alessa.

"Tolong jangan lakukan ini lagi" pinta Damien.

"Kenapa kau menghalangiku, tadi aku hampir dijemput kan .... Aku ingin pulang, aku ingin....."

Alessa meracau, tubuhnya begitu lemah, dengan terpaksa Damien menutup mata Alessa dan membuatnya tertidur.

Ia menggendong tubuh Alessa, menidurkannya ke kasur dan menyelimutinya, lalu Damien ikut berbaring di sebelah Alessa.

"Ini tidak bisa terus dibiarkan, aku tidak ingin menjadi manusia hina, aku juga tidak ingin suara sopran itu hilang selamanya" gumam Damien.

Suara pintu depan diketuk, seseorang ada didepan pintu.

Damien bangkit dan meninggalkan Alessa di tempat tidurnya dan pergi menuju pintu dan membukanya, itu adalah seorang wanita paruh baya.

"Dimana perempuan itu? Aku sudah memberikan kelonggaran berbulan bulan tidak bayar uang sewa karena keluarganya baru saja kecelakaan, tapi bukan berarti aku tidak akan menagihnya! Kau siapanya? Pacarnya? Tidak tahu diri, baru ditinggal suami sudah punya pacar baru!" Perempuan itu mengoceh panjang.

"Berapa uang sewa nya?" Tanya Damien pendek.

"Oh kenapa? Kau bisa membayarnya? Tiga ratus dollar! Aku mau langsung dibayar lunas!" Jawabnya.

Damien meletakkan tangannya ke dalam saku, lalu seakan 'mengeluarkan' sejumlah uang yang sangat banyak, memberikannya kepada ibu pemilik apartemen tersebut. Membuatnya ternganga, mungkinkah uang sebanyak itu bisa keluar dari saku celana?

Tanpa berkata apa apa, ibu itu kemudian menutup pintu apartemen dan pergi meninggalkan Damien yang masih berdiri.

"Kesulitan hidup dalam masa percobaan?" Suara seseorang masuk ke dalam kepala Damien, telepati. Tidak lain dan sudah pasti itu adalah makhluk sebangsanya.

Sesosok iblis lain berdiri dibelakang Damien, tanpa membuka mulut sedikitpun ia mampu berbicara kepadanya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Damien.

"Kasihan sekali, bahkan kau sudah tidak bisa telepati, berbicara itu melelahkan bukan?" Iblis itu bertelepati.

"Aku kesini buat menengokmu dan menitipkan pesan dari bos, masa percobaanmu satu tahun dari sekarang, tentukan pilihanmu, kau mau jadi manusia hina atau kembali ke bangsamu? Semua tergantung dirimu, dan kau harus bertanggung jawab menuruti segala permintaan manusiamu itu, karena sekarang dia adalah bos mu" katanya.

Lalu, iblis itu pun pergi dengan sayapnya yang besar dan hitam indah, seakan memamerkannya kepada Damien yang kini tidak memiliki sayapnya lagi.

*****

A Lunatic's LamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang