3. The World Outside

3 3 0
                                    

Jam empat subuh, hari kamis
Tidak seperti biasanya, hari itu Alessa bangkit dari kasurnya dan mencuci muka, mengenakan wig hitam untuk menutupi kepalanya, memakai Hoodie merah kebesaran yang sembarang ia ambil tergeletak di lantai, dan skinny jeans navy yang ia ambil dari keranjang cucian kotor yang tak pernah disentuhnya sama sekali.

"Aku mau keluar" ucap Alessa. "Jangan ikut, jaga rumah saja"

"Tumben" balas Damien. "Tapi kau lupa kalau kita tidak bisa terpisah, jadi aku ikut"

Damien berjalan santai menuju ke rak sepatu dan memegang kakinya, memunculkan sepasang sepatu untuk dipakainya.

Alessa yang melihatnya merasa biasa saja, sudah tidak asing dengan kemampuan Damien itu.

Damien melihat Alessa mengenakan sepatu heels yang sudah lecet bagian belakangnya, wajahnya terlihat kacau tidak berdandan sama sekali, hanya ada sepatu heels itu di dalam rak sepatu.

"Aku yakin benda itu sangat tidak nyaman, biarkan aku memperbaikinya" ucap Damien sambil mengusap kaki Alessa.

Heels ungu butut tadi berubah menjadi sepasang sneakers hitam, yang terasa sangat nyaman, namun Alessa tidak menyukai warnanya.

"Apa kau tidak tahu ada warna lain selain hitam?" Tanya Alessa. "Ya sudahlah"

Kemudian, Mereka keluar dari dalam apartemen untuk pertama kalinya setelah sebulan penuh didalam rumah tanpa keluar sama sekali. Damien mengunci pintu, mengikuti langkah Alessa dari belakang.

"Kemana pun tujuanku sekarang, kumohon tolong jangan ganggu aku" kata Alessa mengingatkan.

Setelah lama berjalan, tanpa berkata sepatah katapun, akhirnya mereka sampai di sebuah tempat.

Sebuah taman pemakaman, untuk apa sepagi ini mereka datang? Bahkan matahari belum terbit.

"Nick, Edwin, aku datang menjenguk" ucap Alessa memeluk kedua nisan keluarga tersayangnya.

Alessa mengeluarkan sebuah mainan mobil-mobilan dan sebuah arloji dari dalam sakunya, meletakkannya ke makam Edwin dan Nick.

Damien diam memperhatikan Alessa, sebenarnya sejak tadi ia melihat dua sosok jiwa tanpa raga, yang satu adalah laki laki berkacamata tinggi ber ras latin, yang satunya adalah seorang anak laki laki pendek dengan tubuh gemuk ber rambut orange seperti Alessa.

Kedua jiwa itu memeluk Alessa, walaupun Alessa tidak merasakannya, setidaknya Damien tahu bahwa mereka masih bisa bertemu, berarti mereka tertahan karena Alessa tidak bisa mengikhlaskan kematian mereka.

"Ale-"

"Kumohon jangan ganggu aku dulu, aku janji tidak akan berbuat nekat lagi" potong Alessa cepat.

Damien mengangkat bahu, ya sudahlah, tegunnya.

Di tengah pemakaman yang suram, terdapat banyak jiwa yang tidak tenang masih berada disana tanpa bisa pergi ke alam sesudah, Damien berpikir manusia memang makhluk yang sangat rapuh.

"Ah, matahari terbit" ucap Damien.

"Ah, matahari terbit" ucap Damien

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Lunatic's LamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang