4

10 1 0
                                    

"Masih ingat rumah, kamu?!" aku menatap jengah pada seseorang yang tengah duduk di sofa dengan salah satu kaki disilangkan, tangannya memegang sebuah koran.

Aku memilih diam, berusaha mengabaikan keberadaannya. Sekilas aku meliriknya, sungguh hanya dengan melihatnya memunculkan perasaan muak

"Bisa kamu jelaskan ini, Topan!" aku menatapnya sebentar, lalu beralih pada tumpukan surat yang laki-laki itu lemparkan ke atas meja, tampak raut wajah laki-laki itu memerah dengan mata menatap tajam

"Surat" jawabku begitu santai, napas laki-laki itu naik turun seiring langkahnya mendekati keberadaanku. Aku tahu benar bahwa itu adalah tumpukan surat panggilan dari sekolah yang diperuntukan untuk orang tua, sengaja aku menumpuknya dikamar. Tak berniat memberitahu, siapa sangka laki-laki itu akan masuk dalam kamar yang bahkan sudah bertahun-tahun tak terinjak oleh kakinya.

Bugh

Sebuah pukulan berhasil membuat sudut bibirku berdarah, aku tersenyum masam, tak ada gairah untuk menjawab semua pertanyaan yang keluar dari laki-laki dengan garis wajah serupa denganku

"Ayah tak pernah mengajarkan kamu jadi brandalan, Topan!" rahang laki-laki yang menyebut dirinya Ayah itu tampak mengeras, mengisyaratkan kemarahan yang begitu besar.

Dan lagi, apa katanya? Mengajarkan? Bahkan tahun-tahun sudah kulewati tanpa sosoknya disisi. Entah untuk sekedar bermain bola atau berjalan-jalan bersama. Bagaimana bisa laki-laki didepanku ini bisa berkata seolah-olah sudah menghabiskan banyak waktunya denganku?

"Memalukan!" pekiknya

Aku menatapnya sinis, lantas melangkah masuk kedalam kamar meninggalkan laki-laki yang masih betah dengan teriakan dan umpatan-umpatannya

"Aghhhh bangs*t!" semua barang diatas nakas berjatuhan kelantai akibat sapuan tanganku

Aku merasakan sesuatu yang hangat menjalar dari sudut mataku. Tidak, aku tidak boleh lemah untuk sesuatu yang bahkan bukan hal baru dialami, segera lelehan di sudut mata kuseka.

Aku, anak yang mungkin kalian sebut durhaka ini adalah seorang pengemis, ya pengemis kasih sayang. Banyak hal yang kubayangkan tentang hangat dekapan ibu dan menyenangkannya bermain dengan ayah. Akan tetapi semua itu hanyalah angan yang harus ditelan kejamnya realita.

Tanganku bergerak memungut tas punggung yang tergeletak di lantai, menggendongnya lantas bergegas meninggalkan rumah setelah menghubungi seseorang

🕊️🕊️🕊️🕊️🕊️

"Kenapa nyuruh gue kesini?" sebuah pertanyaan terlontar dari seorang laki-laki yang baru saja menghentikan motornya tepat disampingku

"Bosen gue dirumah, nginep ya?"

"Lo ribut lagi sama bokap?" aku memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Alfan.

Dia memang cukup tahu karakterku bagaimana, sebab selama berteman denganku rumahnya lah yang selalu jadi markas ketika aku melarikan diri dari pertengkaran dalam rumah. Selain karena orangtuanya sibuk bekerja, Alfan juga bukan orang yang akan mendesak untuk aku menceritakan masalahku. Jadi, kalaupun dia tahu karena memang sikapku sudah menunjukkan seperti itu.

"Yaudah naik!" aku mengangguk mengiyakan

Motor yang kami kendalai melaju membelah jalan raya menuju rumah Alfan

"Gue mau cari makan keluar, mending Lo mandi terus ganti baju, nggak tahan gue sama aroma bangkai dari badan Lo" ujar Alfan

"Sialan Lo!" Alfan terkekeh mendengar umpatanku, ia berlalu pergi meninggalkan aku dalam kamar

TOPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang