5

9 2 0
                                    

Seorang gadis terlihat setengah berlari menyusuri koridor sekolah, langkahnya semakin memperpendek jarak antar gadis itu denganku.

Sampai tepat didepanku gadis itu menghentikan langkah kakinya, bola matanya menatap lurus kepadaku

"Ambil!" Clarissa menyodorkan sebuah benda berbentuk kotak yang kuyakini itu adalah pod mp³ player, aku menatapnya bingung. Untuk apa dia memintaku mengambil benda itu?

"Dih, lama" ia meraih tanganku lantas meletakkan benda itu di telapak tanganku

"Kalau-kalau Lo rindu sama gue, dengerin suara gue" ucap Clarissa dengan PD-nya, senyumnya mengembang dengan manik mata yang berbinar

"Gue nggak bakal rindu sama Lo, ck terlalu banyak bermimpi! Gue mau Lo berhenti ganggu hidup gue, Lo itu cuma gadis nggak tahu malu yang seenaknya datang dan mengusik!" Clarissa tercengang, barangkali umpatan yang keluar dari mulutku berhasil menyayat-nyayat hatinya. Aku tidak peduli!

"Gue cuma___"

"Lo itu murahan! Nggak tahu malu, kalo Lo ngerti bahasa manusia kaya gue, Lo harusnya tau ucapan gue itu sarat akan penolakan!" kataku menyela ucapan Clarissa, kukira gadis itu akan marah paling tidak menamparku, tapi aku salah. Dia justru masih betah mempertahankan senyum manisnya, padahal dapat kulihat pada matanya ada air yang menggelegak---sesuatu yang harusnya jatuh namun masih ditahannya mati-matian.

"Kalo gue g-gak ma-mau Lo bisa apa?" Clarissa bertanya dengan berani, padahal suaranya sudah tergagap, air mukanya pun memperlihatkan kalo gadis itu sedih sekaligus takut

Baik aku maupun Clarissa sama-sama terdiam, aku terus menatap matanya tajam, tapi gadis itu benar-benar terus memaksakan senyumnya.

"Terserah!"

"Pokoknya gue mau Lo terima ini, yaudah ya gue pergi dulu. Bye!" Clarissa melangkah pergi dan meninggalkan pod MP3 player miliknya. Aku menarik napas dalam, bisa-bisanya bertemu gadis sesat akal seperti dia.

"Pan" aku menoleh dengan sebelah alis terangkat

"Gue rasa Lo itu udah keterlaluan, dia itu cewek, Pan. Masa iya Lo sekasar itu," ucap Zoe menasihati

"Tul itu" timpal Alfan membenarkan ucapan Zoe

Aku memutar bola mata malas, tidak berniat untuk memperdebatkan masalah yang baru saja terjadi. Selanjutnya tanpa merespon ucapan mereka aku lebih dulu melangkah hendak menuju rooftop, aku terus mengayunkan kaki tanpa menanggapi  dua orang yang mengikuti dan menggerutu dibelakang.

Angin semilir yang terlihat menerbangkan daun-daun juga terasa sejuk membelai pipi, aku duduk dengan mata menatap lurus pada gedung-gedung tinggi yang terlihat dari rooftop sekolah.

Katanya penerimaan atas setiap yang terjadi bisa mendatangkan bahagia, tapi apa yang bisa aku terima dari rasa sakit dan kekecewaan? Kenyataannya aku rapuh, aku sebenarnya butuh yang terlihat angkuh.

"Lo nggak bisa terus-terusan nolak orang datang, Pan" ucap Alfan seraya menepuk bahuku

"Bener kata Alfan, Lo bisa belajar nerima orang yang cinta sama Lo,"  sejenak Zoe menjeda kalimatnya

"Coba buat diri Lo memaafkan kesalahan dari orang di masalalu, agar seenggaknya lo bisa ngerasain perasaan orang yang mencintai Lo sekarang" lanjutnya memberi wejangan, aku tersenyum miring mendengarkan penuturan Zoe, kemudian memilih beranjak mendekat pada tembok pembatas dengan pendangan melihat kebawah.

Pikiranku melayang jauh memikirkan sesuatu, mungkinkah-- Cinta? Seperti apa sebenarnya intensitas dan perasaan cinta yang katanya selalu ada? Aku yang gagal--tidak,hanya tidak diberi kesempatan memahami cinta keluarga membuatku tidak ingin mengerti cinta yang lainnya. Ck ... Apa disaat tidak ada tindak pun akan tumbuh cinta?

TOPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang