3

9 1 0
                                    

Sakit, bingung, marah, kesepian ... atau apapun itu yang tak pernah kenal henti datang dan mematri dalam hati pun pikiran.

Kepingan memori tentang kehadiran dan kepergian seseorang yang harusnya bisa memberikan cinta pada buah hatinya tak pernah sekalipun kabur, aku adalah orang yang mungkin begitu berambisi ingin membuat kenangan lenyap tak tersisa. Entah memang karena terlalu banyak kelam pada masanya, atau karena memang aku telah kehilangan rasa percaya pada apa yang orang sebut cinta dan rumah.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku patuh pada perintah orang lain, aku tidak ingat kapan terakhir kali nasihat orang masuk dan mampu menyentuh perasaanku. Sekarang, kenyataannya aku tumbuh menjadi orang yang pembangkang, balapan liar bahkan adu kekuatan bukan hal baru yang patut dipertanyakan

Banyak dari mereka yang datang seolah menawarkan peduli, terlihat ingin membalutkan luka yang sebenarnya sudah mereka buat sendiri

Apa aku harus pura-pura buta? Apa aku harus pura-pura menuli dan tersenyum setiap kali mendengar caci maki? Tidak! Aku tidak sekuat itu, tapi pada masanya, keadaan memaksaku untuk kuat menghadapi semuanya.

Dulu, aku selalu ingin bisa membuat mulut orang-orang disekelilingku bungkam, aku ingin orang-orang disekelilingku terpejam ketika saling menatap nyalang. Tapi kenyataannya aku hanya bisa diam, aku hanya bisa terisak dipojok kamar dan menutup telinga dengan kedua telapak tangan.

Aku yang buruk di mata mereka pernah menjadi yang tak bisa melakukan apa-apa. Ucapan dan permintaanku mungkin tak pernah berarti apa-apa.

Hari itu, tepat dimana ketika aku baru menginjakan kaki didepan rumah dengan menggenggam lembar ulangan yang hampir mendapat nilai sempurna--99---, aku mengurungkan tangan yang hendak membuka pintu ketika kudengar suara-suara berisik dari dalam rumah, entah barang-barang apa yang pecah.

Aku menjadi seperti patung--hanya bisa diam, tapi telingaku mendengarkan, mataku tanpa sadar memanas lalu mengalirkan bening yang jatuh melewati pipi tanpa mampu kucegah.

Aku tersentak saat tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan seorang wanita dengan gadis kecil yang menangis digendongannya, satu tangan wanita itu memegang sebuah koper cukup besar.

"Bun," lirihku memanggil. Aku tidak bodoh sehingga tak mengerti apa yang terjadi, aku tahu ketika seseorang bertengkar dan salah satu dari mereka pergi itu menandakan putusnya sebuah hubungan.

"Sayang, sudah pulang? Dari kapan? Anak Bunda sudah besar ya." wanita yang kupanggil Bunda itu tersenyum tapi matanya yang memerah mengisyaratkan luka.

Aku tidak tahu harus merespon bagaimana, aku hanya diam mendengarkannya terus bicara

"Topan, jangan bandel ya. Topan harus jadi anak yang baik, Bunda harus pergi," tangan Bunda mengusap lembut puncak kepalaku, aku ingin ikut waktu itu, tapi Bunda menolak mengajakku.

Kalian tahu? Aku merasa terbuang, aku merasa tak dibutuhkan, ucapan dan usapan lembut itu adalah yang terakhir kurasakan sampai pada sekarang pun aku tak pernah merasakannya. Bunda dan adikku--Talia, mereka pergi, mereka meninggalkanku bersama seorang laki-laki yang kusebut Ayah. Dulu, aku teramat memohon pada laki-laki itu untuk mencegah langkah Bunda, tapi apa? Laki-laki itu memalingkan muka seolah kalimatku tidak berarti apa-apa. Akh ... mungkin memang akupun tak pernah memiliki arti dihidup mereka.

Sampai saat aku demam pun tak ada sosok wanita yang kupanggil-panggil namanya, ayah pun sama--terlalu sibuk dengan kerjaannya. Hanya ada Bi Nia, seorang yang ayah kerjakan dari aku masih kecil. Bi Nia lah orang yang menemaniku. Tapi, Bi Nia pun kini telah kembali ke kampungnya karena memang sudah tua dan anak-anaknya tak lagi mengijinkannya bekerja.

Aku ingat dengan jelas, tahun terakhir masa SMPku begitu kacau, nilaiku anjlok bahkan aku ter-cap menjadi murid yang pembangkang dan suka berkelahi. Hah, suka? Andai mereka tau, aku hanya seorang anak yang ingin mengemis perhatian, apa mereka akan terus menyebutku pembangkang, urakan atau apalah itu? Aku selalu merasa dingin dimanapun tempat, bahkan dalam lelap pun tenangku seolah terenggut entah kemana?

Mereka yang katanya keluargaku melupakanku, kalian tahu rasanya? Aku sendiri, kesepian, didera ketakutan, merasa sakit tanpa seorangpun sebagai penenang. Semenjak itu, aku tak lagi berharap seseorang datang dan menawarkan kenyamanan. Aku tak mau lagi hancur sendirian.

Aku pernah bertanya-tanya atau lebih tepatnya sering, apa seseorang yang ditinggalkan seperti aku ini bisa disebut buah cinta? Ck, aku terlalu naif karena masih saja menanyakannya.

Belasan tahun aku lalui tanpa sosok Bunda, tapi kurasa bukan hanya Bunda sebab Ayah pun juga sibuk dengan dunianya. Malamku tak ada lagi dongeng juga kecupan pada dahi dari Bunda, Bukan hanya itu ... Aku memang telah kehilangan mereka, Adikku, Bundaku, juga sosok yang selalu menemaniku bermain bola ketika Minggu tiba.

Kejadian-kejadian itu tak pernah lepas dari ingatanku, membekas serupa tato yang di dermabrasi agar hilang namun tetap masih meninggalkan bekas.

"Woy! Ngelamun aja Lo" aku tersentak saat tangan seseorang mendarat dibahuku

"Eh Lo, Zoe. Kenapa?"

"Kebalik ogeb, Lo yang kenapa? daritadi ngelamun mulu," ucap Zoe, aku hanya mengangguk. Mungkin inilah aku, dimanapun tempat pikiranku tetap tak membersamai

"Lo nanti malam ikut balapan?" tanya Alfan yang dari tadi hanya diam

"Nggak, motor gue masih di bengkel" jawabku

Saat tengah larut dalam perbincangan ponselku berdering, aku menghembuskan napas kasar sesaat setelah melihat pesan beruntun yang masuk di handphoneku. Nama Ayah--tertera disana, ada juga beberapa panggilan yang memang sengaja kuhiraukan.

"Ayah Lo?" tanya Alfan yang kuangguki

"Mending Lo hari ini langsung pulang, toh Lo nggak bisa ikut balapan kan? Ayah Lo kayaknya khawatir deh sama Lo" tutur Alfan membuatku mendesah berat

"Gue mau ambil motor,"

"Nanti motor Lo gue yang ambil, jadi Lo bisa pulang dengan tenang" ucap Zoe disetujui Alfan, mereka saling menyatukan tangan yang dibuat menjadi kepalan tinju.

"Gue bisa sen___"

"Gue kasian sama orang yang udah ngobatin tangan lo, nanti handsaplasnya terbuang sia-sia" aku mendelik mendengar penuturan Zoe yang disertai nada ejekan. Sial! Gadis itu membuatku ditertawakan oleh dua codot ini.

"Terserah!" putusku, lantas meninggalkan mereka berdua, hari ini aku terpaksa pulang lebih cepat atau laki-laki yang sudah memaki-maki lewat pesan itu akan semakin mengeluarkan tanduknya

Aku menuju mobilku diparkiran, dan melajukannya membelah jalan raya menuju rumah

Terimakasih sudah membaca cerita ini
Jangan lupa vote and comment ya.
Peluk jauh dari Author amatir🤗💙

TOPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang