[1.1] Trust You

401 50 15
                                    

Sepasang alis tipis itu bertaut kala sinar matahari pagi menyorot tepat pada netra kelabunya. "Ngh," lenguh Levi, si pemilik mata indah itu, menoleh ke sisi kanannya demi menghindari sorotan cahaya. Levi menggerutu, "Siapa yang membuka tirai jendela kamarku?"

Lelaki itu mendudukkan diri, lalu beranjak untuk menutup tirai jendela kamarnya. Ia tahu sudah waktunya membuka tirai itu, tapi ia ingin bermalas-malasan sekarang-ingin tidur lagi tanpa ada gangguan meskipun itu sorotan cahaya-sebab semalam, ia merasa belum cukup istirahat. Yah, karena kejadian semalam.

Eh? Levi menghentikan langkahnya, menyadari sebuah keganjilan. Bukankah semalam aku berlari keluar? Bagaimana bisa aku sudah di kamar?

Kriet... Suara derit pintu, membuat Levi refleks menoleh. Dalam hati sudah was-was, siapa tahu arwah putrinya yang ingin menganggunya lagi. Tapi,

"Levi, kamu sudah bangun?" Erwin Smith yang Levi lihat.

"Erwin?"

"Aku membawakan sarapan untukmu," kata pria itu, mengangkat lebih tinggi nampan bawaannya. Membuat Levi terfokus pada semangkok bubur dan segelas penuh susu putih.

Dia menyinggungku? batin Levi. Alis matanya bertaut kesal. Bukan orang yang mau susah payah menyembunyikan emosinya, begitulah Levi.

"Apa kau mencoba menyinggungku, tuan Smith?" tanya lelaki itu begitu Erwin sudah meletakkan nampan bawaannya di meja tengah ruang.

"Menyinggung?" Erwin keheranan. "Maksudmu karena aku memasak untukmu?" tanyanya.

Levi menggeleng cepat. Matanya menajam, melirik gelas susu di atas meja. Dan nampaknya Erwin menyadari itu.

"Ah, Levi, aku tidak bermaksud menyinggungmu, susu memang baik diminum pagi hari, 'kan?"

"Aku lebih suka teh."

"Aku tidak menemukan teh di dapur, sepertinya kau kehabisan stok."

"Huh? Aku selalu membeli banyak," tukas Levi, sebelum berniat keluar kamarnya, ingin mengecek stok teh di dapur, tapi Erwin lebih dulu menahan.

"Hei, hei, baik, baik, tenanglah," Erwin menghela napas panjang. "Jika kau ingin teh, aku akan menyiapkannya. Tapi sebelum itu, biar kulihat kondisimu."

Levi mengerutkan dahi. Samar-samar semburat merah muncul tanpa sadar di kedua pipinya sebab Erwin kini menatap intens dengan alasan ingin melihat kondisi. Tch, terlalu dekat! batin Levi.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Levi mengangguk singkat. "Lumayan," jawabnya. Ah, sekarang dia ingat, setelah berlari keluar kamar, semalam, Levi tak sengaja menabrak Erwin yang entah kenapa kembali ke rumahnya, lalu ia pingsan. Mungkin dia yang membawaku ke kamar, pikir Levi. Astaga.., aku baru saja kasar padanya.

"Syukurlah." Erwin tersenyum tipis. "Sekarang kau duduk dulu ya, nikmati sarapanmu, aku akan ke dapur membuatkan teh."

"Eh, tidak perlu. Aku tidak masalah minum susu."

"Kau bilang-"

"Aku hanya bilang lebih suka teh. Bukan berarti tidak suka susu."

Erwin mengulum bibir tipisnya. "Baiklah, baiklah," sungguh Erwin tak habis pikir. Ternyata Levi cukup cerewet. "Kalau begitu kau bisa makan sarapanmu dulu, aku akan keluar sebentar-"

"Jangan." Erwin menaikkan sebelah alisnya, menatap Levi yang memilih membuang muka. "Bisakah kamu menemaniku? Aku tidak suka sendirian," cicit Levi. Tangannya menahan lengan kemeja Erwin. Mau tak mau Erwin pun ikut duduk di sofa panjang kamar itu, dengan senyum penuh kepedulian terpatri di wajahnya.

経験的 [ Sempiternal ] - EruRiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang