"Kamu boleh tidak datang"
Ia meletakkan selembar kertas berwarna taupe itu di meja dan mendorongnya mendekat ke arahku.
Aku menatap wanita itu—yang barusan bicara sambil menyerahkan kertas berwarna taupe, yang ternyata adalah sebuah undangan.
Undangan pernikahan, lebih tepatnya.
"Kalau kamu," Kataku. "kamu mau aku datang atau tidak ?"
Alih-alih menjawab, ia malah menatapku lekat. Aku bisa melihat genangan air perlahan membanjiri kedua pelupuk matanya.
"Sorry" Katanya dengan suara yang agak bergetar. Saat ini, ia sedang mendongak sambil mengipasi kedua matanya dengan tangan. Mungkin, ia sedang berusaha agar air matanya tidak tumpah. Aku tahu betul sifatnya yang gengsian dan sok kuat. Ia paling anti menangis di depan orang lain. Padahal, menangis bukan hal yang buruk. Lagipula, hanya ada kami berdua di sini, di apartemenku.
Aku mengenal wanita itu sejak lima tahun yang lalu saat menghadiri sebuah festival budaya di Dieng. Kami yang sama-sama datang sendiri, akhirnya menjadi akrab. Dari sekadar akrab, kami menjadi dekat. Apalagi, kami ternyata berasal dari kota yang sama. Satu tahun sejak perkenalan itu, kami memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.
Namanya Kia dan kami bahagia waktu itu. Kondisi kami yang sama-sama sibuk, membuat kami memiliki waktu pertemuan yang hanya sebentar namun berkualitas. Kami saling merindukan, saling cemburu, saling butuh, dan tentu saja saling cinta. Sampai kebodohan dan keegoisanku menghancurkan tiga tahun terbaik yang telah kujalani bersama Kia.
Aku kembali melirik kertas berwarna taupe itu dan mataku langsung terpaku pada nama Kia yang terukir dengan tinta keemasan, bersanding dengan nama seseorang yang tentu saja bukan aku.
Tiba-tiba saja aku merasa hampa, bahkan untuk menarik nafas pun rasanya susah. Rasanya lebih menyakitkan dari apa yang kurasakan saat tiga bulan setelah meninggalkan Kia dan kemudian baru menyadari bahwa aku kehilangan hal terbaik yang pernah kumiliki.
"Kia" Kataku. "Maafkan aku"
"Untuk ?"
"Semuanya"
Ya, semuanya adalah kalimat yang paling singkat untuk menjabarkan daftar kesalahanku pada Kia.
"Aku sayang kamu, Ki" kataku lagi. Kali ini, aku memutuskan untuk menatap kedua mata Kia sebab entah kapan aku bisa melihatnya lagi.
Kia tersenyum, lalu berdiri dan mendekat ke arahku. Aku bisa menghidu aroma manis segar dari tubuh Kia. Aroma yang tidak pernah kulupakan dan selalu kurindukan. Tanpa bicara apa-apa, Kia memelukku yang masih terduduk. Tangan kirinya mengelus kepalaku yang ia sandarkan di bahunya, tangan kanannya menepuk-nepuk punggungku.
"Aku juga sayang kamu. Tapi Dhimas juga sangat menyayangi aku."
Pertahananku runtuh mendengar kalimat yang meluncur dengan isakan tertahan dari bibir Kia. Aku memeluk pinggang Kia dan terisak seperti anak kecil.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Tidak ada. Meski kami sadar bahwa kami masih saling mencintai, kami tidak akan pernah bisa bersama lagi. Ini semua karena kebodohan dan keegoisanku. Aku tidak hanya menghancurkan hubungan kami, tapi aku juga menghancurkan Kia sampai orang tua Kia membenciku. Dan lagi, sudah ada Dhimas dalam hidup Kia.
"Mungkin malam ini adalah terakhir kalinya kita bisa berdua begini, Ja"
Tangisku makin menjadi mendengar ucapan Kia. Susah bagiku untuk menerima kenyataan bahwa seminggu lagi, Kia akan menikahi pria lain. Seminggu lagi, aku akan benar-benar kehilangan Kia. Seminggu lagi, sebentar lagi.
YOU ARE READING
Belum Tidur - Kumpulan Cerita Pendek
Short StoryBerisi sekumpulan cerita pendek yang lahir pada malam menjelang pagi, saat yang saya lakukan seharusnya adalah tidur.