Jadi, Bagaimana ?

436 5 3
                                    

"Aku belum pernah lihat kamu se-happy ini karena menang sidang"

Gue menoleh dan nyaris menjatuhkan kopi yang baru saja gue bayar di kasir. Bukan karena panas, tapi karena terkejut melihat siapa yang menegur gue barusan. Gue, sih, pede kalau yang dia tegur itu gue karena karena nggak ada siapa-siapa lagi di sekitar dia. Masa iya dia menegur mesin kasir.

"Hai" Gue basa-basi.

"Selamat, ya" Kata dia.

Oke, mulai sekarang kita bisa panggil dia Yama. Dia adalah mantan pacar gue dan-entah ini sial atau sebaliknya-dia juga rekan kerja gue. Selain menangani kasus klien, kesibukan gue di kantor adalah berusaha untuk move on dari manusia satu ini. Ya lo pikir saja sendiri, gue pacaran sama dia selama enam tahun. Satu kampus, satu kelas, satu dosen pembimbing waktu skripsi, sampai satu kantor. Kira-kira, apa gue nggak membutuhkan usaha ekstra untuk move on ?.

Jelas saja iya. Apalagi, Yama adalah pacar pertama gue.

"Sama-sama" Gue tersenyum kikuk. Bukan karena grogi melihat Yama, tapi karena nggak nyaman dengan high heels yang gue pakai. "Ini berkat bantuan lo dan tim juga"

Yama yang melihat kegelisahan gue, langsung menawarkan untuk duduk. Sebelum duduk di kursi yang berhadapan dengan gue, dia melirik ke bawah "Itu kan bukan sepatu kamu"

Gue mengerutkan dahi, sejak kapan Yama bisa membedakan sepatu para karyawan di kantor ?

"Iya, ini sepatu Ellen"

"Pasti karena semalaman kamu belajar buat sidang, telat bangun, lalu lupa bawa sepatu ?" Tebak Yama. Iya, iya, Yama benar dan dia memang yang paling tahu soal kebiasaan gue sebelum sidang, kebiasaan gue pakai sandal selama di kantor, kebiasaan gue memakai high heels hanya setiap sidang dan meeting, dan kebiasaan-kebiasaan gue lainnya. "Kan aku sudah sering bilang, sepatunya disimpan di dalam mobil aja"

Gue cuma diam.

Pertama, gue sedang menghayati rasa pegal linu yang terjadi di kaki gue karena heels Ellen ini tingginya nggak kira-kira. Kedua, gue sedang menebak-nebak apa yang terjadi sama Yama sebelum dia sampai di kantor pengadilan tadi. Soalnya, Yama belum pernah memulai obrolan di luar kerjaan dengan gue semenjak kami putus setahun lalu.

"Ada apa, Ma ?" Tanya gue pada akhirnya.

"Apanya ?"

Gue menyeruput kopi gue sebelum semakin dingin. "Lo kenapa begini ?"

"Begini gimana ?"

"Lo nggak nyadar kalau lo selalu marah-marah nggak jelas selama kita sidang bareng Mario ? Yang terakhir malah lo parah banget. Gue sampai malu sama Mario, tahu nggak"

"Ya kamu juga ngapain dekat-dekat sama dia ?" Sanggah Yama, yang semakin membuat gue terheran-heran.

Beberapa bulan ini, gue dan Yama menangani kasus bersama. Mario adalah kuasa hukum untuk rival klien gue. Jadi, akhir-akhir ini gue, Yama, dan Mario sering bertemu untuk menjalani sidang. Tapi di luar persidangan, gue dan Mario berhubungan baik dan mulai dekat secara pribadi.

"Memangnya kenapa kalau gue dekat sama Mario ?"

"Aku nggak suka" Kata Yama enteng.

"Kenapa gue harus mikirin apa yang lo suka dan lo nggak suka ?"

Yama mengedikkan bahu cuek.

"Sumpah, Ma, lo aneh banget" Gue menatap Yama lamat-lamat. Yang gue tatap malah sok sibuk dengan ponselnya sendiri. "Ada apa sih, Ma ? Kenapa lo jadi kayak gini ke gue ? Kenapa lo ribut sama Mario ? Kenapa lo tiba-tiba baik sama gue ? Lo sadar nggak sih, selama setahun ini lo nggak pernah melihat gue"

Gue mengingat kembali hari-hari di kantor yang berubah seratus delapan puluh derajat sejak Yama memutuskan hubungan kami begitu saja. Benar-benar begitu saja tanpa alasan yang jelas, yang akhirnya membuat gue mengambil kesimpulan sendiri bahwa mungkin Yama bosan atau capek dengan gue. Saat itu, kami memang sedang getol-getolnya kerja dan jarang punya waktu berdua. Pertengkaran, mulai dari yang kecil dan remeh-temeh hingga yang hebat pun, nggak bisa dihindari karena kurangnya komunikasi.

Sejak hari itu, Yama menatap gue seolah hanya angin lalu, sementara gue selalu menatap Yama dengan penuh pertanyaan yang nggak pernah ada jawabannya.

"Kadang gue berharap kita bisa bertemu dalam keadaan yang lebih baik, mungkin kayak sekarang ini. Lalu, lo akan menatap mata gue dan menyadari bahwa dulu sebenarnya ada banyak cara yang bisa kita lakuin buat memperbaiki hubungan kita-"

Gue menjeda sejenak, Yama masih menyimak.

"Dan pergi bukanlah salah satunya, Ma"

Mungkin Yama bisa melihat mata gue yang mulai berkaca-kaca. Gue nggak peduli. Kalau nggak sekarang, entah kapan lagi gue bisa bicara sama Yama.

"Lo nggak pernah tahu, kan, seberapa kerasnya usaha gue untuk move on dari lo ?" Gue menghapus titik air yang mulai muncul di sudut mata gue dengan ujung jari secara perlahan. Biar bagaimanapun, gue takut eyeliner gue luntur.

"Setiap gue melihat lo di kantor dan lo nggak sedikitpun melihat gue kecuali tiap kita ngerjain kasus bareng, gue marah, Ma"

"Marah sama aku ?" Yama memasang tampang lugu.

"Apa pernah gue marah sama lo ?" Gue balik bertanya, Yama menggeleng karena memang gue nggak pernah marah sama Yama. Gue cinta banget sama makhluk satu ini sampai gue jadi bego kayak sekarang.

"Gue marah sama diri gue sendiri, Ma. Gue marah karena gue nggak bisa bikin lo tetap tinggal. Gue marah karena gue gagal dalam membuat lo merasa cukup sehingga lo nggak perlu pergi"

Yama cuma diam. Mungkin dia memberikan kesempatan pada gue untuk terus mengoceh panjang-lebar.

"Begonya-" Gue melempar pandangan ke luar jendela. "Lo, sikap lo, dan segala perasaan sakit yang gue rasain karenanya, nggak lantas membuat gue menyesal atau berhenti mencintai lo. Pada setiap doa gue, mimpi-mimpi gue, rencana masa depan gue; nama lo masih ada disana, Ma. Gue sudah berusaha menghapus nama lo, tapi butuh proses. Gue kira dengan gue dekat sama Mario, bisa membuat proses itu jadi lebih cepat. Tapi kenapa lo malah uring-uringan dan marah-marah nggak jelas waktu gue dekat sama Mario ?"

Kali ini, ekspresi Yama sedikit berubah. Dia jadi lebih serius, tapi tetap diam sambil menatap gue lamat-lamat. Gue balas menatap Yama tepat di kedua matanya.

"Sebenarnya, lo pengen gue menghapus nama lo atau nggak sih, Ma ?"

Belum Tidur - Kumpulan Cerita PendekWhere stories live. Discover now