BAB I: Kalau Mau Menarik, Pada Awalnya Harus Diberi Konflik

44 7 0
                                    

SEMUANYA BERAKHIR SUDAH. Pisau yang seharusnya dipotongkan ke kue ulang tahunku malah tinggal beberapa sentimeter lagi siap kapanpun membelah jakunku menjadi dua bagai topping buah ceri di atas kue ulang tahun yang malang.

Di sebuah ruangan yang entah bagaimana aku mendeskripsikannya, yang jelas bukan kamarku atau ruangan manapun yang pernah kujamah. Lampu bohlam tua warna kuning sedikit remang berusaha menerangi seisi ruangan semampunya.

Disajikan sebuah kue tar berbentuk lingkaran yang cukup besar. Diameternya seukuran kaki manusia dewasa. Disajikan atas meja bundar sangat luas terbuat dari kayu lusuh di depanku.

Tali tampar mengikatku sangat kuat di atas kursi kayu. Semua anggota badanku tidak bisa digerakkan dan aku hampir mati rasa.

Dalam kondisi setengah sadar, aku tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi – saking kuat ikatan talinya, darahku sukar mengalir ke kepala sehingga membuat penglihatanku menjadi kabur.

Namun anehnya aku bisa mendengar dengan jelas suara seseorang berdiri di belakangku sambil mengelus-elus kepalaku dengan lembut dan berbisik mendekati telingaku, "kembalikan dia kepadaku atau kita akhiri hidup bersama disini sekarang juga.

Akan kupenggal kepalamu, setelah itu aku juga akan memotong kepalaku, lalu kita bertukar kepala, menarik bukan untuk orang sewaras aku? Kepalamu untukku dan kepalaku untukmu."

"Kamu akan merasakan apa yang telah aku rasakan selama ini. Aku menjalani hidup yang sangat".

Bentakannya terdengar lebih keras, "... AHH! Kau konyol! Hidupmu sangat konyol. Mudah sekali jadi kamu, sangat mudah menjalani hidup sepertimu. Namun kenapa hidup menjadi aku itu susah sekali, kenapa? KENAPA? Keparat seperti kamu harus merasakannya!"

Kali ini dia membuat suaranya semakin perlahan tapi dia mengucapkannya sambil menahan amarahnya. Kalau dideskripsikan bagaimana ekspresinya ketika dia berbicara, dia seperti sedang menggigit giginya sendiri lalu berbicara, "bagaimana kalau kamu jadi aku saja?", cengir bengisnya seolah-olah dia memperlakukanku seperti mangsa dan dia adalah predatornya - namun tidak langsung menghabisiku, dia melakukannya secara perlahan, menyiksaku terlebih dahulu lalu membiarkanku mati perlahan.

Kali ini dia benar-benar menjambakku sangat kuat seakan kulit kepala dan rambutku mau copot.

Pisau yang tadi hanya tinggal beberapa senti, sekarang sudah benar-benar menempel di leherku. Perlahan dia menekan dengan sangat kuat dan meninggalkan bekas garis berwarna merah. Entah itu bekas darah atau bekas krim coklat yang dioleskan dengan pisau di leherku.

"HAAAAAAAAAHH!", sambil berteriak sekeras-kerasnya, alih-alih menggorokkan pisaunya ke leherku, ia malah memukulkan gagangnya ke kepalaku dan teriakan itu menyertai pandanganku yang kabur.

Tiba-tiba semuanya hilang. Seluruh penjuru ruangan menjadi gelap gulita – sangat gelap seperti lorong tanpa penerangan yang tak berujung.

Sampai dimana setitik berkas cahaya muncul perlahan dari ujung mataku. Mendengar suara samar-samar seperti alunan musik membuatku sedikit gelisah dan ketakutan.

Tapi karena secercah cahaya yang tadi sudah mulai jelas dan suara samar tadi mulai terdengar jelas juga, ringtone lawas HP Nokia yang khas, berbunyi sangat nyaring dari ponsel pintarku, itu ringtone alarm yang bagus untuk ukuran remaja Gen Z yang bangun kesiangan.

Pukul setengah sembilan 'siang' dan seharusnya sekarang aku sudah berada di sekolah.

"Mah! Aku kesiangan, kenapa nggak dibangunin, sih?"

"Ya, kamu kan udah gede. Tanggung jawab bangun sendiri masa gak bisa, Kak?", balas Mama sedikit berteriak dari dapur sambil memasak.

"Yasuda, nanti Mama jangan lupa buatkan aku surat izin tidak masuk sekolah karena sakit, kalau nggak gitu aku busa terancam tidak naik kelas", balasku sambil teriak dari atas tempat tidur dengan mata yang masih mengantuk dan masih memiliki hasrat untuk melanjutkan tidur.

Ngomong-ngomong tadi mimpinya seram. Mimpi buruk biasanya memberi pertanda buruk. Dan siapapun yang ada di dalam mimpi buruk itu seharusnya memiliki campur tangan dalam pertanda buruk itu. Kira-kira siapa, ya, yang mengikatku di kursi lalu apa yang sebenarnya dia maksud dengan 'kembalikan dia.'

"Nak, makanan sudah siap di meja makan. Kalau mau makan, ya, makan. Kalau tidak, ya tidak apa, biar Mama sama adik-adikmu yang habisin makanannya", Mama teriak dari ruang makan sambil memukul-mukul panci dengan sendok sayur.

"Enak aja! Otw, mah. Cuci muka dulu", masih membalas dari atas tempat tidur. Rasanya seperti ada lem yang melekatkanku di atas tempat tidur, tapi nyaman. Agaknya kasurku benar-benar menyayangiku, begitu juga dengan bantal dan guling. Seakan-akan mereka punya tangan dan memelukku erat-erat agar tidak beranjak darinya.

Setelah cuci muka, aku pergi ke ruang makan. Aku duduk di meja, eh, bukan, maksudku di kursi. Tiba-tiba, "TA-DA! Selamat ulang tahun, Kakak!"

"Anjing! Kaget sekali ya ampun!"

"Mulutnya, ya, tolong dijaga. Ini hari ulangtahunmu, anakku", Mama menasehati sambil tersenyum-kesal, tumben sekali Mama tidak menamparku setelah aku keceplosan berkata kotor.

"Enggak, anu, mah. Uhm, maksudnya . . . Jelo kemana? Dia kok tidak ikut?" – Jelo adalah nama anjing jantan kesayanganku.

"Eh, nggak, tahu, semalem kan main sama kamu, kak"

"Loh, heh, kok!"

"Nak! Lehermu kenapa? Kok ada lukanya? Kamu habis ngapain[?]

Bloody SpoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang