GAK APA-APA, MAH. Ini cuma bekas luka goresan pisau kue di leher.
"Sudah gila kamu, ya? Gak apa-apa gimana. Kalau kena pembuluh nadi, kamu mati, dong, Nak. Kita sekeluarga bisa menangis tersedu-sedu. Ayahmu sudah meninggalkan kita, lalu kamu juga mau meninggalkan kami. Tidak ada pria lagi di keluarga kami. Bagaimana kalau ada serangga berbahaya di rumah? Siapa yang mambasminya untuk kami? Bagaimana kalau cincin mama masuk ke WC? Siapa yang mengambilkannya? Bagaimana kalau ada ... "
"Mah . . . ingatkan aku lagi, baru saja kamu bilang apa?"
"Lehermu!"
"Sebentar", aku langsung bergegas pergi ke kamar mandi.
Dan becermin.
"Apa iya kejadian semalam bukan mimpi", sambil mengerutkan dahi dan mengobrol dengan cermin, "aku sedang bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi semalam. Luka di leherku dan Jelo hilang entah kemana" – belum aku cari sih, biasanya dia kalau pagi-pagi begini berlarian di halaman, kalau tidak, ya ada di gudang. Aku juga pernah menemukannya di loteng. Tapi sewajarnya, setiap bangun pagi ia ada di sampingku membangunkanku.
"DOR!" – sempat-sempatnya Mama bercanda di situasi seperti ini
"Nggak kaget, nak?"
Bukannya bertanya apakah aku baik-baik saja dan luka yang ada di leherku ternyata disebabkan oleh apa. Aku pun bisa menjelaskan semuanya kalau aku tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan luka seperti ini, tapi yang jelas, sebelum tidur aku menggosok gigi di depan cermin dan semua kulit tubuhku terlihat mulus, aman, dan tenteram. Terutama kulit leherku. Sama sekali tidak ada bekas luka atau goresan.
"Nggak lucu kaget-kagetannya, Mah. Eh, Jelo kemana?"
"Acara ulang tahunnya gak dilanjutin dulu?"
"Iya, makanya ini aku cari Jelo dulu, Mah"
"Iya, deh. Sono!"
Sambil mencari Jelo, ngomong-ngomong aku tinggal di sebuah kota yang jauh dari ekstradisi, sebuah kota yang cukup tua. Hampir bisa disebut kota yang bukan kota. Jika disebut desa, juga tidak bisa karena para tetangga hampir tidak mengenal satu sama lain. Jika Las Vegas terkenal dengan kota yang ramai di saat malam. Kota ini terkenal dengan malamnya yang sangat sepi dan mencekam. Setelah pukul enam sore lewat, lampu-lampu mulai meredup. Untungnya kami masih memiliki satu tetangga yang ramah. Sepertinya.
Aku lupa kalau ini tidak bergenre horror, apa aku menceritakannya terlalu seram?
"Tok, tok, tok", suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Diiringi backsound piano yang mencekam seperti di film-film horror.
"TOK, TOK, TOK", lagi, kali ini menggunakan caps lock untuk memperbesar huruf agar berkesan mempertegas dan jelas.
"TOK, TOK, TOK!", ada tanda serunya!
Aku mencoba membuka perlahan, tanganku sedikit bergemetar, dan, "Voila! Selamat ulang tahun, amigo!", konveti disemburkan ke arah mukaku dan itu sakit, jangan pernah lakukan itu ke temanmu yang sedang berulangtahun. "Gimana kabarmu, brodiiee? Ngomong-ngomong selamat atas kelahiranmu kembali", basa-basinya membuatku malas menjawab.
"Kan kemarin baru saja rental PS5 bareng temen-temen sekolah, perlu menanyakan kabar?", agar tidak terlihat sombong, aku terpaksa menjawab
"Ya, bisa saja setelah pulang dari tempat rental kamu mati tertabrak truk es krim atau mungkin terpeleset kulit pisang lalu gegar otak", jawabnya.
"Loh, bentar, bentar . . ." jangan lupa ini masih siang, aku bolos sekolah, dan temanku ini juga satu sekolah denganku, bahkan kita satu kelas. Maka pertanyaan selanjutnya yang harusnya terlontar adalah, "kamu bolos sekolah juga, ya?", dengan pede-nya ia tersenyum dan langsung menjawab, "of course, ini semua buat kawanku yang lagi merayakan hari kelahirannya."
"Terus, kirim surat izin ke sekolah tentang apa?", tanyaku.
"Sakit, haha", katanya.
"Sama, haha", balasku.
Lalu kami tertawa canggung bersama, "ha.. ha.. ha.."
"Lihat Jelo, nggak?", aku bertanya mengalihkan topik pembicaraan super-canggung tersebut.
"Dia lagi bersantai di rumahku", ngomong-ngomong dia juga tetanggaku.
"Astaga, bagaimana bisa?", tanyaku terheran.
"Tadi dia terlihat sedang melamun di halaman rumahmu, lalu aku culik dong, haha ..." rumahnya bahkan pas di sebelah kanan rumahku.
"Haha,"
"Jelo bertanbah dewasa membuat gelagatnya berubah seratus delapan puluh derajat, ya?"
"Berubah gimana?"
"Dia memakan kucingku hingga tinggal kepalanya saja"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloody Spoon
De TodoHidupku semakin lama kian terpuruk. Aku juga mau berbahagia, loh! Alih-alih menulis cerita komedi dengan humorku yang rendah, sewajarnya genre 'violence' lebih menyenangkan dan membuat banyak orang tertawa terbahak-bahak, bukan[?]