Prolog

204 8 1
                                    

Prolog

Namaku Viel Phemia. Umurku 16 tahun. 3 tahun yang lalu, orang tuaku meninggal dalam kecelakaan dan sejak saat itu aku tinggal di panti asuhan karena aku tidak mempunyai saudara sama sekali. Sekitar 1 tahun setelah kecelakaan itu, aku memutuskan untuk berhenti sekolah. Bukan karena tidak ada biaya, melainkan karena aku selalu dibuli oleh anak-anak lain di sekolah. Hingga akhirnya hari itu aku melawan mereka.

Satu lawan lima, memang tidak ada kesempatan untuk menang, tapi aku sudah muak selalu diremehkan dan diejek. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi padaku, bahkan jika aku akan mati sekalipun, tak ada bedanya bagiku. Pada akhirnya aku toh akan dipukuli juga oleh mereka, jadi sekalian saja biar mereka juga merasakan sakitnya dipukul.

Hari itu, aku mengeluarkan semua amarahku yang selama ini hanya kupendam. Kulayangkan tinjuku entah kemana dan mengenai siapa. Kusodokkan sikuku ke belakang dan aku tahu pasti bahwa aku telah mematahkan gigi seseorang. Aku terus menendang dan memukul, menggunakan seluruh anggota tubuhku yang bisa kujadikan sebagai senjata untuk membalas mereka. Namun, lebih banyak pukulan yang kuterima daripada yang kuberikan.

Satu lawan lima. Terdengar bodoh memang, tapi bagaimana jika satu orang itu sudah tidak lagi memperdulikan rasa sakit, bahkan tidak peduli lagi dengan kematian? Sebuah pukulan keras menghajar telingaku, membuatku nyaris terjatuh. Kumantapkan pijakanku, lalu kulayangkan pukulan tepat ke depan wajahku. Bunyi tulang patah terdengar di telingaku sebelum seseorang menghajar pipiku. Sakit sekali, telingaku berdenging keras, tapi setidaknya aku yakin bahwa aku telah mematahkan hidung salah satu dari mereka. “Ha ha ha ha”, aku tertawa keras sambil terus melayangkan tinjuku dan tendanganku sekenanya. Akal sehat mulai meninggalkanku.

 ***

Aku sudah tidak bisa melihat dan tidak bisa berpikir lagi. Hal terakhir yang kuingat adalah, sebuah pukulan yang kulayangkan mengenai wajah salah satu dari mereka dengan telak. Namun, pukulanku itu dibalas dengan tiga buah pukulan di mata, pipi dan perutku, dilanjutkan dengan sebuah tendangan di kakiku yang membuatku jatuh tersungkur dalam kubangan air. Baju dan celanaku basah kuyup, wajahku berlumur darah dan tanah. Kurasa wajahku sudah tak berbentuk lagi sekarang.

Aku bisa mendengar tawa mengejek mereka bercampur dengan makian kasar. Kepalaku pusing, sakit sekali, rasanya dunia berputar-putar dengan cepat. Aku tidak bisa fokus, aku tidak bisa bergerak, apalagi untuk kembali berdiri dan melawan, bahkan bernafas pun membuat dadaku sakit. Seperti inikah rasanya mati? pikirku saat itu. Tepat setelah aku berpikir seperti itu, kegelapan menyelimutiku.

Sepertinya aku tak sadarkan diri, tapi aku masih bisa mendengar seruan marah dan makian kasar mereka. Aku masih bisa merasakan mereka memukuli dan menendangiku, hanya saja aku tak lagi merasakan sakitnya. Tiba-tiba, aku merasa sangat marah. Tubuhku gemetar karena amarah yang menyelimutiku. Kemudian aku merasa tubuhku menjadi ringan.

***

Rosto sedang berjalan di atas jembatan sambil berusaha menyalakan rokoknya ketika ia melihat perkelahian itu. Beberapa anak sedang saling pukul dan tendang sekenanya, seolah tak peduli kemana pukulan mereka terarah.

"Dasar anak kecil." pikir Rosto sambil terus berusaha menyalakan koreknya yang terus mati karena tertiup angin. Saat itu pertengahan musim semi dan angin bertiup sangat kencang. Rosto membalikkan badannya untuk membelakangi arah tiupan angin dan akhirnya berhasil menyalakan rokoknya.Ia bersandar pada pinggir jembatan dan menghembuskan asap rokoknya ke depan sembari memperhatikan perkelahian itu dengan wajah bosan.

"Aah, anak jaman sekarang beraninya hanya main keroyok. Tidak jantan sekali." keluhnya ketika menyadari bahwa perkelahian itu tidaklah imbang. Ia sedang berpikir untuk memanggil polisi ketika seorang anak dipukul hingga terjatuh dan tidak bangkit lagi, sementara anak-anak lainnya berdiri mengelilingi anak yang terjatuh itu sambil berteriak marah dan sesekali menendanginya.

"Umm, kurasa sudah terlambat untuk memanggil polisi sekarang." batinnya resah. Hatinya bimbang untuk memilih antara memanggil polisi yang tentunya akan terlambat sekali untuk menolong anak malang itu, ataukah sebaiknya ia langsung turun kesana dan menghentikan perkelahian itu untuk menyelamatkan anak itu, tentunya dengan resiko ia akan dihajar oleh anak-anak lainnya. Ia mendesah pelan, "Aku tidak kenal dengannya, jadi kenapa aku harus mengorbankan diriku?" batinnya sambil beranjak pergi untuk memanggil polisi.

Tiba-tiba sebuah teriakan penuh amarah dan kebencian memecah udara, mengejutkan Rosto dan juga anak-anak yang lain. Rosto kembali menghampiri pinggir jembatan untuk mencari tahu asal suara itu. Ia terperangah tidak percaya ketika melihat sang anak malang itu kembali berdiri sambil berteriak keras. Wajahnya tertutup darah dan tanah, pakaiannya basah dan kotor, lengan kanannya menggelantung lemah, namun anak itu terus berteriak keras sampai urat lehernya menonjol seolah akan pecah. Anak-anak lainnya hanya menatap ketakutan dan mundur perlahan-lahan ketika anak malang itu mendadak berlari ke arah mereka sambil terus berteriak, dan...

**************************************************************************************************************

CHOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang