Chapter 2

76 6 0
                                    

Chapter 2

Suara berisik dari lantai bawah membangunkan Viel. Ia mengusap matanya, masih merasa mengantuk. "Paman Rosto sudah pulang ya?" tanyanya dalam hati. Viel melirik jam di samping kasurnya, "Ya ampun, sudah jam 8.30 malam! Lama sekali aku tertidur!" batin Viel terkejut. Suara berisik kembali terdengar dari lantai bawah, mengalihkan perhatian Viel.

Tiba-tiba sebuah pemikiran menghampirinya, membuatnya terlonjak di kasurnya. Ia pun terduduk di kasurnya, wajahnya pucat, keringat mulai membasahi wajah dan punggungnya. Kembali terdengar suara meja dan kursi digeser di lantai bawah. Viel terdiam kaku di kasurnya berusaha mendengarkan lebih jelas ketika akhirnya ia mendengar suara kaca pecah.

"MALING!" teriak Viel dalam hati sambil melompat berdiri dari kasurnya. Perlahan ia membuka pintu kamarnya dan berjingkat menuju tangga, berusaha mengintip ke bawah. "Gelap sekali, berarti Paman belum pulang." batin Viel. Ia berjingkat menuruni tangga, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun.

Ketika Viel sampai di lantai bawah, ia melihat dua sosok pria, keduanya lebih tinggi dari Viel. Namun Viel tahu, bahwa usia mereka tidak jauh berbeda dengannya, karena mereka berdua memakai seragam sekolah.

“HENTIKAN! Apa yang kalian lakukan disini?” teriak Viel seraya menyalakan lampu. Kedua pelajar tadi terkejut dengan teriakan Viel dan juga karena lampu yang tiba-tiba menyala. Mereka membalikkan badan dan memelototi Viel.

“Kupikir tidak ada orang, eh ternyata ada masih ada satu pecundang disini.” ejek salah satu pelajar yang berambut keriting. Pelajar satunya lagi tertawa sambil berjalan mendekati Viel.

“Tidak usah takut. Kami hanya butuh beberapa lembar uang saja kok. Beri tahu kami dimana uangnya disimpan, dan kami tidak akan menyakitimu, bocah.” ujar pelajar itu sambil tersenyum seolah sedang membujuk anak kecil.

Viel bisa merasakan tubuhnya gemetar dan keringat dingin membasahi punggungnya. “Dimana Paman? Kenapa belum pulang juga? Apa yang harus kulakukan?” batin Viel menjerit kebingungan. Ia tak sanggup berkata apa-apa untuk menjawab pelajar tadi.

“Coba lihat itu, dia gemetar ketakutan. Ha ha ha!” pelajar berambut keriting tertawa sambil menendang sebuah kursi. “Sudah kita cari saja sendiri. Kurasa bocah itu tidak akan sanggup bicara saking takutnya.” tambahnya lagi.

“Kau diam disitu ya, bocah. Jangan bertindak macam-macam atau kuhajar kau sampai mati.” ancam pelajar kedua sambil menepuk pipi Viel.

Pelajar berambut keriting masuk ke dalam konter dan mengacak-acak konter yang berisi gelas dan minuman.

“Wooow, lihat ini! Ada banyak minuman, kita bisa minum-minum sampai puas malam ini!” ujarnya sambil menatap senang ke arah temannya. Yang dipanggil hanya tersenyum sinis dan membalikkan badannya setelah melempar tatapan tajam ke arah Viel.

“Ambil semuanya. Kita pesta malam ini. Dan mungkin uangnya disimpan disitu juga, cari!” perintah pelajar kedua pada temannya yang asyik membongkar konter. “Oke boss!” jawab temannya kegirangan sambil melempar sebuah gelas sembarangan.

“Aku tidak boleh diam saja. Mereka akan menghancurkan kedai ini. Paman Rosto bisa susah. Aku harus menghentikan mereka.” batin Viel. Ia menutup matanya, berusaha mengumpulkan seluruh keberaniannya.

“Ayo, Viel. Kamu bisa, kamu berani.” ujarnya pelan menyemangati dirinya sendiri.

Lalu dengan seluruh keberanian dan kekuatan yang ada padanya, Viel berlari dan mendorong pelajar yang di depannya hingga pelajar itu jatuh terjerembab ke salah satu meja. Kemudian Viel berlari menghampiri pelajar di balik konter yang masih terkejut akan serangan mendadak itu. Ia menarik tangan pelajar itu dengan tangan kirinya, dan menarik kerah baju pelajar itu dengan tangan kanannya. Namun pelajar itu lebih cepat, ia menghajar pipi kanan Viel dengan tangan kirinya. Viel terlempar ke samping, pinggangnya membentur kompor di sampingnya.

“Jangan macam-macam bocah!” teriak pelajar itu pada Viel. Sementara itu pelajar yang didorong Viel mulai menghampiri Viel dari belakang dengan wajah marah. Viel melirik waspada, memperhitungkan posisinya yang terjepit.

“Jika aku meladeni mereka disini, maka tempat ini akan hancur. Tidak, tidak boleh. Aku harus memancing mereka agar mereka keluar dari sini.” Viel berpikir keras berpacu dengan waktu. Kemudian ia melirik ke belakangnya. “Pintu samping!” jerit batinnya. Ia pun melesat mencoba melewati pelajar di belakangnya. Sayang, pelajar itu lebih cepat darinya. Pelajar itu menarik kaos Viel dan membantingnya ke konter. Nafas Viel semakin memburu. Takut, marah, khawatir, putus asa, semua berkecamuk dalam pikirannya. Dan ia berharap pamannya segera pulang.

“Sudah kubilang supaya kau diam disana, bocah tengik! Berani melawan ya? Kau yang minta untuk dihajar!” bentak pelajar itu pada Viel seraya melayangkan tinjunya ke perut Viel. Viel jatuh terduduk memegangi perutnya. Rasanya begitu sakit sampai ia nyaris muntah.

“Tidak, tidak boleh begini. Aku harus keluar mencari pertolongan.” teriak batin Viel lagi. Ia melirik ke arah lorong yang menghubungkan kedai dan dapur, lalu segera melesat dengan gerakan tiba-tiba dan mendorong pelajar itu hingga membentur dinding. Ketika pelajar itu terjatuh, Viel langsung berlari masuk ke dapur, berusaha mencari kunci pintu samping. Melihat temannya terjatuh, si pelajar berambut keriting segera mengejar Viel ke dapur.

“Kurang ajar kau, bocah!” teriaknya.

Di dapur, pelajar itu berhasil mengejar Viel dan menendang punggung Viel hingga Viel jatuh tersungkur di tempat cuci piring. Dengan cepat, Viel mengambil spons yang ada disitu dan melemparkannya ke pelajar tersebut untuk mengalihkan perhatian dan melayangkan tinjunya ke wajah pelajar itu.

Pukulan Viel mengenai hidung pelajar tersebut, membuat pelajar itu terjengkang ke belakang hingga kepalanya membentur tembok dengan cukup keras dan jatuh tersungkur dengan hidung berdarah. Sementara pelajar yang satu lagi memandangi Viel dengan tatapan yang seolah berkata ‘Kubunuh kau’.

Viel segera berlari menuju pintu samping, namun berhasil dicegat oleh pelajar itu yang segera mendaratkan lututnya di perut Viel. Viel kembali terjatuh berlutut, memuntahkan darah dari mulutnya. Namun pelajar itu tak memberi kesempatan bernafas pada Viel, dihajarkan lututnya lagi, kali ini ke wajah Viel. Viel terjerembab ke belakang, memuncratkan darah dari hidung dan pelipisnya.

Pelajar itu mendekati Viel, berdiri di atas Viel yang jatuh telentang. Kemudian pelajar itu membungkuk dan meraih kaos Viel. Saat itu juga, tangan Viel menemukan sesuatu yang langsung dihajarkannya ke kepala pelajar itu. Pelajar itu langsung ambruk ke samping dengan memegangi kepalanya yang dihajar Viel dan mengerang keras. Viel segera bangkit, mengambil kunci dan membuka kunci pintu samping, kemudian berjalan keluar dengan sempoyongan sambil menahan sakit di perutnya.

Baru berjalan beberapa langkah, langkah Viel kembali terhenti karena kaosnya direnggut dari belakang oleh pelajar tadi, lalu dihempaskannya Viel ke atas tumpukan kantong sampah.

“Kau benar-benar ingin mati ya?” desis pelajar itu.

Viel hanya diam, tak sanggup berdiri karena rasa sakit di perutnya yang menusuk-nusuk membuatnya sulit bernafas. Ia menutup matanya sambil membatin, “Setidaknya ini sudah diluar kedai”.

Pelajar itu mendekati Viel dan merenggut kaos Viel lagi. “Kuhajar kau sampai mati, bocah!” ujarnya penuh kemarahan. Lalu pelajar itu menghajar wajah Viel berkali-kali tanpa ada perlawanan sama sekali dari Viel.

“Lagi-lagi seperti ini.” batin Viel. Ia dapat merasakan pukulan-pukulan di wajahnya, namun ia sama sekali tidak dapat melihat apapun, hanya kegelapan yang menyelimutinya.

Tiba-tiba Viel merasa tubuhnya terasa panas seperti terbakar dan kemarahan pun menggelegak dalam dirinya. Kepalanya terasa berputar karena rasa marah yang begitu kuat menguasai dirinya. Tubuhnya gemetar menahan rasa panas yang terus membakar, dan ia pun berteriak keras.

******************************************************************************

CHOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang