Chapter 3

62 5 0
                                    

Chapter 3

 “Untung aku tadi pakai jaket.” gumam Rosto sambil merapatkan kerah jaketnya. Udara terasa begitu dingin menusuk tulang. Ia merogoh saku jaketnya, mengambil sebatang rokok dan pemantik, lalu menyalakan rokoknya, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

“Aah, aku ingin cepat sampai di rumah dan menghangatkan diri.” desahnya sembari menghisap rokoknya lagi. Ia melihat jam di tangannya, “ Hah? Sudah jam 11 malam?! Viel pasti sudah tidur. Dia sudah makan belum ya?” tanya Rosto pada dirinya sendiri. Ia kembali merapatkan kerah jaketnya dan mempercepat langkahnya.

“He? Kenapa lampunya masih menyala? Apa Viel belum tidur ya?” gumam Rosto ketika ia tiba di depan rumah. Ia mengambil kunci dari saku celananya dan membuka pintu perlahan. Rosto melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sambil menatap tangga yang berada ujung lorong di depan pintu. Ia sama sekali tidak menyadari kekacauan yang terjadi sampai ketika ia hendak membalikkan badan untuk menutup pintu, ia melihat meja dan kursi yang berantakan.

“A, apa-apaan ini? Kenapa berantakan sekali?” Rosto bertanya-tanya dalam hati. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa konternya juga berantakan. Rosto pun segera berputar menuju konter dan menyadari adanya bercak-bercak cipratan darah di beberapa tempat.

Rosto membelalakkan matanya melihat cipratan darah itu. Ditambah lagi dengan bercak darah yang ada di tembok. Rosto masih terdiam karena terlalu terkejut akan apa yang dilihatnya ketika ia mendengar suara tangisan tertahan.

“Viel!” panggil Rosto sambil berlari ke dapur. Ia pun semakin terkejut ketika mendapati seorang anak laki-laki berseragam sekolah tergeletak di dapurnya dengan darah mengucur dari hidung dan kepala bagian belakangnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” batin Rosto panik. Ia berjongkok di samping anak itu dan memeriksa denyut nadinya. “Tidak ada. Anak ini sudah mati” desah Rosto semakin panik. Ia menoleh ke sekeliling dapur dan akhirnya menyadari bahwa pintu samping yang menuju gang terbuka sedikit. Suara tangisan tertahan terdengar dari sana. Rosto pun melangkah keluar.

“Viel?” bisik Rosto. Ia melihat Viel duduk dengan terisak di antara tumpukan kantong sampah. Viel memeluk lutut sambil membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Bahunya sesekali bergoyang menandakan tangisan tertahan.

“Viel, kau tak apa-apa? Apa yang terjadi?” teriak Rosto panik seraya menghampiri Viel dan berjongkok di samping Viel. Saat itu juga, Rosto melihat tubuh anak laki-laki lain di belakang Viel. Wajahnya hancur dan penuh dengan darah, lengannya terlipat tidak wajar. Rosto terperangah melihat semua itu. Ia melirik Viel yang masih terisak-isak, kemudian memeluknya erat dan mengusap lembut kepala Viel.

“Sudah Viel, sudah.” ujar Rosto berusaha menenangkan Viel dengan menepuk-nepuk pelan kepala Viel.

“Aku, aku.. Mereka merusak, kedai. Aku, tidak...” ujar Viel terbata-bata di tengah tangisannya.

“Ya, ya, aku tahu. Sudah, tak usah kau katakan, aku mengerti kok.” potong Rosto pelan. “Ayo, kita ke dalam.” ajak Rosto sambil membantu Viel berdiri.

“Tapi, aku… mereka…” tanya Viel lemah.

“Sudahlah, tak usah kau pikirkan. Kau naiklah ke atas, bersihkan dirimu, dan tidur saja. Tidak usah pikirkan apa-apa lagi, ya?” Rosto berusaha menenangkan Viel yang masih menangis dan gemetar hebat. Viel hanya mengangguk lemah.

Rosto membopong Viel ke dalam kedai, mengambil posisi di sebelah kiri Viel untuk menutupi pandangan Viel ke arah anak yang sudah mati di dapur. Rosto membantu Viel naik ke lantai 2 dan membawa Viel sampai ke depan kamar mandi.

“Mandilah sampai bersih, ganti bajumu. Nanti letakkan bajumu ini di depan kamarku ya? Setelah itu tidurlah.” ucap Rosto sambil mengelus kepala Viel. “Baik Paman” jawab Viel. Viel pun masuk ke kamar mandi.

***

Viel berusaha melepaskan kaosnya perlahan-lahan. Setiap gerakan yang ia lakukan, terutama mengangkat tangan, membuat perutnya sakit. Kepalanya masih berdenyut-denyut hebat. Hidungnya terasa perih, dan darah masih mengucur dari sana. Ia menyalakan air panas, mengusap mulutnya dan membersihkan darah di wajahnya dengan perlahan sambil menahan sakit.

Seusai mandi, Viel berjalan ke depan kamar Rosto untuk meletakkan pakaiannya disana sesuai dengan perintah Rosto. Pakaiannya bersimbah darah dan robek di beberapa tempat. Viel tertegun sesaat memandangi pakaiannya. Sempat terpikir olehnya untuk langsung membuang pakaiannya itu, namun kepatuhannya pada Rosto membuatnya mengurungkan niatnya dan meletakkan pakaian itu di depan pintu kamar Rosto. Ia pun segera menuju kamarnya dan tidur.

******************************************************************************

CHOPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang