Tujuh : Berbeda

10.5K 1.9K 109
                                    

Everything seems different, bahkan ketika aku mencoba melihat dari berbagai perspektif kehidupan. Aku udah mencoba menerima bahwa sekarang keluargaku sedang ditimpa musibah, juga yakin bahwa semua ini pasti berlalu. Aku meyakinkan diri berkali-kali, berpuluh kali bahkan setiap detik aku mengingat keluargaku.

Tapi saat aku dihadapkan masalah ini kembali, aku tetap merasa menjadi anak kecil yang merengek kepada Tuhan, kenapa memberi cobaan seperti ini. Aku tahu aku salah, aku juga tahu protesku tidak akan berarti apa-apa. Hanya saja ... melihat kesedihan di raut wajah Mama dan Papa ketika Izam tidak mau makan membuat hatiku teriris, nadiku seperti berhenti berdetak sehingga aku menjadi lemah.

Lama aku memandang adikku yang masih ngambek dibawah selimut itu dengan hati yang sakit. Aku sudah melakukan segala cara mulai dari membujuk hingga memarahinya, tidak ada satupun yang masuk ke dalam telinganya. Bahkan melirikku saja tidak sama sekali.

Dia benar-benar tengah ketakutan.

Tadi pagi pihak dari kepolisian lagi-lagi mengintrogasi adikku. Aku udah mengatakan untuk menunggu sampai dia selesai makan, tapi mereka mengatakan jadwal terlalu sibuk sehingga hanya waktu tadi pagi. Aku hampir meradang namun Papa menahanku agar nggak membuat masalah.

Izam hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan lemah. Sayangnya mereka terus mendesak Izam agar bersuara. Aku memberontak tadi pagi dan mengusir mereka karena sudah membuat adikku sangat tertekan. Papa yang baru pulang dari kantor meminta pengertian untuk datang lain kali karena Izam sedang tidak dalam kondisi baik untuk di introgasi, pengacara yang disewa oleh Papa nggak banyak membantu bahkan dia nggak bisa datang sama sekali.

Lalu untuk apa kami membayarnya? Bahkan mendampingi Izam saja dia berkali-kali nggak mampu.

Aku menarik napas dalam dan segera keluar dari kamar Izam dengan napas sesak. Rasanya kesal sekali. Seperti ada yang ingin meledak dalam diriku. Tetapi aku tahu meledak hanya menimbulkan masalah lain di dalam hidupku, sedang otak dan hatiku terlalu panas. Aku tidak bisa meredamnya.

Ada satu orang yang terpikirkan untuk mencarikan solusi. Hatiku langsung menolak pikiranku. Kalau dia tahu, dia pasti akan ikut campur. Aku nggak mau berutang budi dan dikasihani oleh siapapun. Termasuk Rian.

Rian memiliki tim pengacara yang luar biasa. Mungkin salah satu dari mereka mempunyai kenalan yang bisa langsung mengatasi hal ini tanpa membuatku keki. Aku sudah memikirkannya matang-matang dan jawabanki tetap tidak. Aku tidak mau Rian tahu masalah keluargaku.

Tidak Rian, tidak siapapun. Orang lain nggak perlu mengetahui apa yang tengah terjadi padaku atau apa yang sedang kualami. Aku nggak pernah merasa nyaman menceritakan masalahku pada orang lain bahkan sejak patah hati terparahku dulu.

Aku nggak pernah bisa.

Sifatku ini benar-benar merepotkan. Aku tahu ini salah dan harus diperbaiki, tetapi aku terlalu mandiri selama ini, menganggap semua hal akan beres dengan tanganku. Semua akan baik-baik saja tanpa bantuan orang lain.

Disaat aku membutuhkan bantuan orang lain seperti kali ini, lidahku seakan terkunci untuk mengatakan kepada orang lain. Aku sudah berusaha menceritakan pada Fadila, namun saat berbincang dengannya kerongkonganku nggak mampu meloloskan satupun bahkan sekedar deheman. Aku benar-benar nggak bisa menceritakannya, entah kenapa.

Lama aku termenung di depan ruangan Izam. Sampai sebuah tepukan hangat menghampiri bahuku. Ketika aku menoleh karena kaget, mataku membola.

Aku langsung merasakan perasaan freeze seketika, suasana rumah sakit yang nggak begitu ramai menjadi sangat hening.

Kenapa Rian bisa ada di sini?

***

"Yaampun, Rian! Kenapa repot-repot segala!" Mama mengambil martabak yang dibawakan oleh Rian, sejak kejadian yang mengejutkanku tadi, aku benar-benar hanya bisa diam. Dia datang sendiri padahal biasanya bersama Edwin.

Tetap Teman | ✓ (Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang