Satu : Jakarta dan Patah Hati

18.8K 2.1K 110
                                    


Dunia tetap baik-baik saja sehancur apapun hidupmu. Jadi, nggak ada gunanya bersedih lama-lama.

Aku nggak mungkin benci Jakarta.

Bagaimana mungkin aku bisa benci Jakarta?

Aku hanya nggak suka tinggal di Jakarta. Maksudnya ... siapa yang suka? Baru lima menit keluar dari rumah sudah berhadapan dengan kemacetan yang tiada henti. Itu baru keadaan yang dihadapi saat memulai aktivitas, saat pulang nanti .... Harus menghadapi hal yang sama, bedanya saat jam pulang kemacetan di jalan meningkat dua kali lipat.

Kalau kata orang-orang, Jakarta hanya membuatmu tua di jalan. Ya benar. Jika di tempat lain jarak tempuh empat kilo hanya sekitar sepuluh menit, di Jakarta kita bisa mendapati jarak tempuh serupa bisa mencapai tiga puluh menit perjalanan. Itu baru persoalan jarak tempuh, belum lagi polusi, banjir, gaya hidup, sewa tempat tinggal dan orang-orang dengan emosi sumbu pendek yang berkendara di jalan.

Bagiku, Jakarta tetap bukan tempat ideal untuk ditinggali. Sayangnya semua itu bukan alasannya.

Aku harus menandatangani offering letter yang ditawarkan Mbak Wulan karena butuh pekerjaan.

"Lumayan lho, Ris, gajinya naik tiga kali lipat dari sebelumnya."

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Gaji pekerjaan baruku memang tiga kali lipat dari gajiku saat pertama kali bergabung dengan kantor ini. Benar, tetapi pekerjaanku dan tanggung jawab sekarang juga bukan main-main. Lagi pula, ini sudah sesuai dengan kualifikasiku sebagai lulusan pascasarjana yang sudah memiliki pengalaman bekerja selama empat tahun.

Mbak Wulan menerima berkas kontrak yang kutanda tangani dengan semringah. Setelah mengetahui bahwa aku akan segera lulus master, dia nggak segan menawarkan pekerjaan padaku. Awalnya aku berniat menolaknya tapi setelah berpikir berkali-kali aku memutuskan untuk menerima tawaran ini.

"Kamu bisa masuk mulai besok ya," ucap Mbak Wulan. Fyi, Mbak Wulan akan menjadi supervisiku setahun ke depan.

"Siap, Mbak." Aku menjawab template.

Mbak Wulan masih tersenyum-senyum menatapku. "Udah dapat tempat tinggal? Atau nge-kos?"

Aku hampir lupa bahwa aku harus segera bersih-bersih tempat tinggal baruku hingga beberapa detik lalu. "Tinggal di rumah Om, kebetulan beliau sekeluarga nggak tinggal di sana lagi."

Mbak Wulan mengangguk-angguk. "Ya udah, kamu pasti sibuk hari pertama pindahan. Sampai ketemu besok, Ris."

"Makasih, Mbak."

Aku segera berdiri dan menyalami tangan Mbak Wulan sebelum keluar dari ruangan rapat minimalis bercat putih itu. Lantai tempatku akan bekerja ada di lantai lima, wing dua. Dulu saat pertama kali bekerja di sini aku bekerja di lantai dua wing satu.

Aku menunggu lift dengan perasaan cukup gusar.

Benarkah ini yang harus kujalani? Aku tiba-tiba gamang.

Mataku mengedar ke sekeliling, pada lorong besar yang memerangkap tubuhku seorang diri. Di bagian paling kiri terdapat ruang untuk menerima tamu bertema open space, sedangkan ruangan kerja berada di sebelah kananku. Kantor ini sudah jauh berubah dibandingkan terakhir kali aku bekerja di sini.

Kutatap ujung sepatuku dengan nanar, sebelum akhirnya kutegakkan wajah.

Sudahlah. Semua sudah diatur sebagaimana semestinya. Aku juga tengah membutuhkan pekerjaan secepatnya.

***

"Halo, Dil?" Aku mengangkat panggilan telepon sambil mengapit ponsel diantara kepala dan bahu sedang tanganku sibuk melipat-lipat pakaian yang udah nggak akan digunakan. Sahabatku, Fadila, baru saja mengetahui aku sudah kembali lagi ke Jakarta.

Tetap Teman | ✓ (Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang