Sembilan : Tentang Patah Hati

9.6K 1.7K 80
                                    


Aku takut patah hati lagi.

Ini bukan sebuah ketakutan saja tetapi sebuah kenyataan. Rian bukan satu-satunya selama tiga tahun terakhir mengajakku untuk menjalin hubungan. Aku memang menikmati menyukai orang lain, tergelitik saat dia memberi perhatian padaku dan menikmati bagaimana perasaan cemburu saat dia bersama orang lain.

Tapi ....

Ketika aku diajak menjalin hubungan, aku rasanya ingin kabur saja.

Aku masih dalam keadaan shock karena Rian memintaku menjadi pasangannya. Banyak hal yang langsung mengusik pikiranku hingga aku memutuskan untuk menghindarinya saja.

Sejak dia mengantarku ke rumah sakit dan pulang, aku nggak lagi menghubunginya. Dia beberapa kali menghubungiku melalui telepon tetapi nggak kuangkat sama sekali. Sengaja. Aku nggak ingin berhubungan dengannya dulu.

Namun, aku tahu aku nggak bisa selamanya menghindari Rian. Setelah kejadian di rumahku itu, aku sendiri sudah semakin sibuk dan tidak lagi ada di apartemen. Pekerjaanku semakin padat dengan rapat dan lembur di kantor. Karena kesibukanku itu, aku nggak lagi memikirkan Rian dan dia sepertinya juga tengah disibukkan dengan kegiatannya.

Hingga hari ini.

Aku nggak bisa menghindarinya hari ini. Dua hari yang lalu dia mengundang kami semua untuk datang menghadiri opening outlet barunya di salah satu gedung perkantoran dan apartemen daerah Kuningan. Aku nggak mungkun absen ikut karena titik temu kami di apartemenku.

Karena baru saja pulang dari Tangerang untuk rapat harmonisasi bersama Kemenkumham, aku belum sempat bebersih diri. Rasanya benar-benar lelah karena harus mengikuti rapat, kemudian merevisi di hari-H. Aku, Mbak Wulan, Mas Daffa dan tim hampir kehabisan energi karena harus mengejar banyak hal. Mulai dari revisi, pelaporan dan lainnya. Setelah bulan ini berakhir, pekerjaanku mulai memasuki ritme santai.

Besok juga kami harus mengikuti rapat di kantor untuk pertanggung jawaban apa yang telah kami lakukan selama beberapa waktu terakhir bersama Direktur.

Aku nggak memiliki waktu untuk memikirkan drama perasaanku terhadap Rian tetapi sejujurnya juga belum sanggup menghadapinya.

Teman-temanku sudah masuk ke dalam unitku karena aku menitipkan kunciku ke resepsionis. Satu kunci lagi ada di Rian sih, tetapi aku sedang dalam mode nggak menghubunginya sama sekali. Jadi kubiarkan saja kunciku ada bersamanya. Mungkin dia masih menggunakan apartemenku untuk istirahat, toh juga aku tidak ada di sini.

Aku masih menatap pintu unitku dengan nanar. Tiba-tiba saja aku gugup. Aku nggak tahu Rian ada dimana sekarang. Kemungkinan besar di outlet barunya. Ini sebuah perkembangan besar bagi Rian karena bisa masuk ke kawasan perkantoran elit.

Jujur saja, aku ikut bangga dengan pencapaiannya.

Mungkin dia akan lebih sering di sana daripada di sini.

Lalu? Apa yang seharusnya kupikirkan?

Yasudahlah. Biarkan saja.

Aku masuk dengan santai ke unitku. Mataku langsung menangkap sosok Umbar ditengah-tengah kami. Dia melambaikan tangannya ceria kepadaku membuatku langsung melepaskan sepatu dengan cepat. Saat aku akan memeluk Umbar yang duduk diantara Fadila dan Kelvin, seseorang keluar dari kamar mandiku.

Aku langsung terdiam. Rian juga. Kami bertatapan beberapa saat sampai dia mengalihkan pandangan dari mataku. Mengabaikan wajahnya yang sudah nggak kulihat selama beberapa waktu terakhir dan menimbulkan rindu di dalam hatiku, aku langsung memeluk tubuh Umbar tanpa memedulikan pandangan Rian yang kembali menatap dalam ke arahku.

"Kenapa lo nggak bilang mau kesini?"

Umbar tersenyum kepadaku. "Niatnya sih, ngasih surprise!"

"Trus yang jemput lo?"

Tetap Teman | ✓ (Karya Karsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang