1 | Pandangan Pertama

360 29 28
                                    

Sulit bagiku untuk bisa, berhenti mengagumi dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sulit bagiku untuk bisa, berhenti mengagumi dirinya

༻❀༺

Memang, ya. Yang namanya jalanan apalagi saat weekand itu selalu rame alias macet. Padahal, Maudy udah keluar dari kampusnya sejak dua puluh menit yang lalu—sekitar jam setengah tiga, saat matahari lagi terik-teriknya—tapi tetap aja kena macet.

Sebenarnya, Maudy nggak masalah mau jalan serame apapun atau dia harus terjebak sampai sore menjelang malam karna memang ia sudah terbiasa. Inilah rutinitasnya hampir setiap hari. Namun untuk hari ini berbeda. Ada seorang pria yang tengah menunggunya di The Oven—toko roti yang sekaligus merambat menjadi cafe—pada pukul empat sore. Dan sialnya, Maudy masih terjebak di tengah kemacetan, jarak menuju The Oven masih sangat jauh, dan jam sudah menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit. Ya, Tuhan. Baru pertama ketemu udah kasih kesan buruk—terlambat.

Mereka belum pernah ketemu dan hari ini adalah kali pertamanya. Kata maminya Maudy cowok itu anaknya Tante Maya—teman SMAnya Mami dan istri dari rekan kerjanya Papi. Sempit banget.

Dan jelas, bau-bau perjodohanpun mulai tercium dengan menusuk. Meskipun orang tuanya serempak bilang, "Cuman kenalan aja kok, Dy. Nambah teman." Iya, kenalan yang ujungnya perjodohan.

Jujur, walaupun Maudy nggak setuju dengan ide aneh ini. Tapi, jangan sampai dia ngasih kesan yang buruk. Takutnya ... si cowok ngadu ke Tante Maya terus sampai terdengar ke telinga orangtuanya Maudy dan teman-temannya. Kan bisa gawat!

Oke. Sebelum turun, Maudy narik napasnya dulu untuk menetralkan detak jantungnya karna udah telat lima belas menit. Ditambah lagi dengan Puput—pegawai The Oven—yang meneror ponselnya sambil berkata, "Mbak, Masnya udah dateng. Ganteng banget! Aw!"

Eh, Maudy deg-degan bukan karna kata Puput dia ganteng, ya! Tapi karna dia telat! Catet.

"Udah dateng?" tanya Maudy saat Puput berlari menyambutnya.

"Udah daritadi, Mbak. Ayo, samperin. Kesian dia nunggu, mana belum pesan apa-apa lagi."

Sial.

Mendengar hal itu, Maudy langsung tancap gas menuju meja yang telah diatur oleh Mami dan Tante Maya—nomor tiga belas.

"Maaf," ringis Maudy, "maaf atas keterlambatan saya." Tanpa lupa memberikan senyum tipis dengan raut wajah yang merasa bersalah.

"Its okay. Cuman lima belas menit."

Wah parah. Disindir! "Sekali lagi saya minta maaf." Jujur Maudy merasa bersalah banget, sih. "Kayaknya ... lebih enak kalau kita ngobrol sambil makan atau ngopi cantik. Kamu belum pesan, kan?"

"Boleh." Tangannya terangkat untuk memanggil salah satu pegawai. Lalu datang Puput yang setengah berlari sambil tersenyum menggoda dan menaik-naikkan alisnya. Kenapa mesti Puput yang datang, sih? Sengaja banget.

Ordinary LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang