Malam itu Nara sedang menonton film saat handphone nya berbunyi, menandakan banyak notifikasi pesan yang berebut untuk masuk."Hesa minta gue jadi pacarnya." isi pesannya, puluhan pesan yang lainnya adalah gambaran bagaimana Amel sangat senang karena setelah berminggu-minggu melewati masa pendekatan, akhirnya Hesa menyatakan perasaannya.
Nara memang tahu bahwa kedua temannya itu sedang dekat, Nara juga lah yang setia membantu mereka mendekatkan diri satu sama lain. Lantas saat mendengar itu Nara kelewat senang, benar-benar senang karena menurut Nara, Hesa dan Amel adalah perpaduan dua manusia yang sangat serasi.
Amel adalah orang yang sangat tulus dan pintar, sangat cocok jika disandingkan dengan Hesa yang supel dan periang.
Dan untuk pertama kalinya terhadap Mahesa, Nara benar-benar senang.
Hesa dan Nara secara otomatis tak lagi bicara dari saat itu, tidak selain membicarakan sahabat si perempuan. Semesta sepertinya ingin memisahkan mereka sebentar, bosan melihat keduanya menyangkal.
—
Selagi Mahesa sedang membahagiakan perempuannya, tidak sedikit laki-laki yang menaruh perhatian terhadap Kinara, meminta izin untuk memiliki hati si perempuan, yang sebelumnya hanya dimiliki oleh Mahesa seorang.
Watak Nara yang sedikit ketus dan masa bodoh itu ternyata menarik atensi banyak laki-laki di sekolahnya, Nara tentu mana sadar, selama ini dunianya adalah Hesa, dan mungkin akan selalu Mahesa.
Lalu dari sekian banyak laki-laki yang mengantri untuk berkunjung, siapa yang Nara izinkan masuk?
Laki-laki itu Hema, bukan murid kesayangan guru dalam pelajaran, melainkan kesayangan guru dalam hal kebadungan. Pelanggan tetap kesiswaan, nilai yang selalu mepet diatas rata-rata, dan tertidur di kelas adalah kesukaannya. Tidak tahu bagaimana Nara malah tertarik magnet buatan si badung, tapi ia senang si laki-laki telah menyempatkan diri untuk berkunjung.
Hema membahagiakan,
Nara diprioritaskan.Hari itu hari Kamis, cerah. Begitu juga dengan gambaran hati si perempuan, Hema dan Nara sedang berjalan menuju kantin sekolah, tidak berani berpegangan tangan, jadi hanya kelingking keduanya yang sesekali berkenaan.
Sedang membicarakan nilai si laki-laki yang akhirnya menyentuh angka 90 untuk pertama kalinya. Karena diajarkan Nara, tentunya.
Di pertengahan jalan, mereka bertemu beberapa teman dari si laki-laki. Tentulah diledeki, tapi Hema mana peduli? Semua ledekan temannya hanya dibalas kekehan kecil dari si badung. Perempuannya? bersembunyi di belakang si laki-laki dengan wajah yang sedikit tersipu. Tidak sedikit sebenarnya, malu sekali.
"Sama aku terus ya, Nar?" kata Hema tiba-tiba saat mereka baru duduk di salah satu meja kantin. Tidak banyak orang, semua sudah kembali ke kelas memikirkan sebentar lagi bunyi bel masuk akan segera berkumandang.
"Aku enggak tau mau jadi apa kalau kamu enggak ada" lanjutnya. Nara dengan senang hati mengiyakan. Itu saat hubungan keduanya memasuki bulan ke-11, si laki-laki wajar takut kehilangan. Menjadi tidak wajar kala yang berkata takut kehilangan, malah jadi satu-satunya yang meninggalkan.
Nara mulai meyakini bahwa Hema mungkin adalah benar-benar yang terakhir, tanpa tahu bahwa patah hati tidak pernah memberi aba-aba untuk sejenak mampir.
Tapi, Nar. Kalau menentukan yang terakhir memang semudah itu, patah hati pasti tidak akan diidap oleh banyak orang hingga saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hesa, Nar.
Teen FictionSatu yang tetap sama, Kinara tetap yang tercantik di mata Mahesa.