Sabrina berjalan di koridor sekolah, hendak menuju ruang kelas. Pikirannya masih berpusat pada Galen yang memakai seragam sekolahnya.
Terlalu fokus sampai tidak peduli pada sekitar membuat badannya hampir oleng karena menabrak punggung seseorang.
“Apaan sih– eh, Sab? Kenapa lu?”
“Nggak apa-apa, cuma nggak fokus aja tadi.”
“Tumben nggak fokus? Mikirin apa, sih? Utang?”
“Kepo.”
“Atau jangan-jangan lu sengaja nabrak gua buat modus, ya? Tapi maaf ya, gua– ARGH SAKIT.”
“Lo mau gue cubit lagi, Julian Kanendra?”
“NGGAK.”
Julian Kanendra, atau yang biasa dipanggil dengan Ian merupakan satu dari beberapa teman dekat Sabrina.
Sabrina emang nggak pandai bergaul, maka jangan heran kalau temannya hanya bisa dihitung jari dari sekian banyaknya murid di sekolah itu.
Selain karena nggak pandai bergaul, wajah Sabrina yang terkesan mengintimidasi juga jadi salah satu faktor ia disegani oleh orang-orang.
Padahal kalau menurut teman-temannya, Sabrina itu orangnya cukup asik dan bisa nyambung dalam berbagai topik pembicaraan. Apalagi makanan.
Kembali ke saat ini, keduanya telah sampai di ruang kelas. Beberapa dari mereka ada yang sedang menghafal dan sisanya sedang mengobrol dengan yang lainnya.
“SABRINA CARPENTEEEEERRR, nyontek PR matematika lu, dong. Gua abis nyontek punya Keenan terus baru nyadar kalau dia ngerjainnya asal-asalan anjir,” ucap Dika begitu Sabrina baru menampakkan diri di ruang kelas.
Sementara Keenan yang namanya baru saja disebut, langsung memelototi Dika. “NYET, TADI SIAPA YANG MAKSA-MAKSA MAU LIAT?”
Kepala Sabrina yang udah pusing perkara Galen, makin dibuat pusing karena pagi-pagi udah dengerin bacotan temennya itu.
“Tuh,” Sabrina menaruh bukunya di atas meja Dika, “kalau udah langsung balikin, jangan dipinjemin ke siapa-siapa lagi.”
“BERESSSSS.”
“Sab, Sab, gua juga liat, ya.” Kata seseorang dengan nametag Miko Dewangga A.
“Terserah.”
Bisa dibilang, teman-temannya di kelas ini hanya ada 4 orang. Julian, Dika, Keenan, dan Miko.
Kalau Julian, Sabrina mengenalnya sejak SMP. Sementara yang lainnya ia kenal lewat jalur Julian.
Mungkin, kalau tanpa Julian, temannya akan lebih sedikit dari saat ini.
Sabrina juga punya 2 teman lagi, tapi keduanya berada di kelas yang berbeda dengannya.
Ia tiba-tiba tersenyum, yang penting kualitas daripada kuantitasnya, kan?
“Gila ya lu?” tanya Julian yang memergoki Sabrina sedang senyum-senyum sendiri.
“IAN BACOT.”
Pintu kelas dibuka, menampilkan wali kelasnya yang datang dengan seorang laki-laki. Suasana kelas yang mulanya gaduh, langsung hening seketika.
Seluruh murid memfokuskan atensi mereka pada siswa tersebut.
“Anak-anak, kelas kita hari ini kedatangan murid baru. Nah, kamu, ayo perkenalin diri kamu.”
“Halo, nama saya Galendra Risjad Wiratama, biasa dipanggil Galen. Salam kenal.”
Usai memperkenalkan dirinya, murid yang ada di kelas itu seolah menatapnya dengan mata berbinar, terutama kaum hawa.
Hanya satu satu orang saja yang tidak peduli dengan entitas di depannya. Siapa lagi kalau bukan Sabrina?
Dari sekian ruang kelas yang ada di sekolah ini, kenapa juga dia harus sekelas sama cowok itu?
“Galen, kamu cari tempat duduk yang kosong, ya. Yang lain jangan lupa sapa temen barunya. Ibu mau ngajar dulu, jangan berisik sampai gurunya dateng,” ucap wali kelas sebelum beliau keluar dari kelas tersebut.
Galen mencari-cari kursi kosong, dan hanya ada satu kursi yang tak berpenghuni di sana. Di samping Sabrina.
Mata keduanya bertemu, dengan malas Galen berjalan ke arah kursi tersebut.
“Ngapain?” tanya Sabrina dengan nada sinis.
“Ya mau duduk lah?”
Dengan santainya Galen menaruh tas Sabrina ke atas meja yang sebelumnya berada di kursi yang kini cowok itu duduki.
“Apaan sih?! Ini bangku gue!”
“Lu gak liat itu yang lain udah keisi semua? Cuma sisa ini doang, gua juga ogah duduk sama nenek lampir.”
“SIAPA YANG NENEK LAMPIR?!”
“Lu.”
“LO–”
“GOOD MORNING CLASS!”
Perkataannya terpotong karena Pak Gunawan, selaku guru sejarah, masuk ke kelas.
Kalau nggak ada, mungkin sampai sekarang Sabrina masih mencak-mencak.
“Hadeh, Bapak sebenernya guru sejarah atau bahasa inggris, sih?” celetuk Dika yang langsung dibalas dengan tawa oleh yang lainnya.
“Banyak cingcong kamu Dika, kamu mau hafalan paling pertama? Mau? Iya?”
“E-eh, aduh Pak, bercanda doang atuh saya mah. Peace.”
“Halah, berisik doang, disuruh maju hafalan duluan malah takut. Cemen kamu Dika,” pria paruh baya itu lalu mengalihkan atensi ke arah Julian, “ketua kelas, ayo pimpin doa.”
Bel istirahat berbunyi, semua murid berhamburan menuju kantin. Termasuk Sabrina yang kini sedang merapikan buku dan hendak ke kantin menemui kedua temannya.
“Sab,” panggil cowok di sebelahnya.
Satu panggilan, tapi nggak ada respons dari Sabrina.
“Sabrina,” panggilnya lagi.
Tapi nihil, gadis itu tetap diam seperti mengabaikannya.
“Sabrina.” Galen memegang pergelangan tangan gadis itu, namun dengan cepat ditepis oleh Sabrina.
“Ck, apaan sih.”
“Liat buku sejarah lu.”
“Buat?”
“Mau liat materi buat hafalan.”
“Kalau gue nggak mau?”
“Kalau lu nggak mau, terpaksa gua harus nyolong buku lu diem-diem.”
“Heh, denger ya, gue nggak bakalan pinjemin buku gue ke bibit maling kayak lo. Pinjem yang lain aja sana.”
Setelahnya ia langsung ke luar kelas, malas berlama-lama dengan Galen.
“Bisa cepet tua gue kalau ngomong sama dia.”
Sesampainya di kantin, Sabrina langsung disambut dengan dua temannya, Rhea dan Bella.
“MY BRINIIIIEEE, emang bener di kelas lo ada murid baru? Banyak yang bilang katanya anak barunya ganteng. Emang bener, Brin?” tanya Bella begitu Sabrina sudah duduk.
“Sebentar, daripada itu, lo berdua masih inget kan sama cowok yang gue ceritain semalem?”
“Yang lo bilang nyebelin itu?” jawab Rhea.
“Iya, itu,” Sabrina menghela napas pelan, “dia murid baru yang tadi dibilang sama Bella.”
“UHUK,” Bella keselek minumannya, “SEMPIT BANGET DUNIAAAAA?”
“Makanya! Gue sebel banget sumpah.”
“Tapi bisa aja kan abis ini hubungan lo sama dia jadi deket?”
Sabrina langsung menatap Rhea, “Nggak akan!”