Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi sejak 5 menit lalu. Telapak tanganku berkeringat, entah karena berlari menelusuri koridor sekolah atau karena terlalu gugup, rupaku saat ini pasti sudah tidak karuan. 2 menit kemudian aku berhenti di depan pintu yang bertuliskan 'X IPA 1' aku memastikannya sekali lagi. Benar ini kelasku, dengan tangan gemetar aku membuka pintu kelas, semua murid sudah duduk rapi di bangku masing masing dan tampaknya guru sudah memulai perkenalannya. Lidah ku kelu, semua orang di dalam ruangan itu menoleh menatapku.
Saking gugupnya aku nyaris saja muntah di tempat.
"Ah masuklah nak, silahkan duduk di bangku yang masih kosong" suara Ibu guru itu menyadarkan ku. Aku mengangguk dan berjalan ke bangku kosong yang ada di ujung kanan depan. Bu guru lanjut memulai sesi perkenalan, satu persatu murid memperkenalkan diri. Syukurlah walaupun gugup setengah mati aku berhasil melakukan perkenalan tanpa gagap.
Sesi perkenalan itu berlanjut dengan mini games dimana Ibu guru akan menunjuk satu murid dan meminta teman yang lain menyebutkan namanya. Satu jam berlalu, sesi perkenalan itu berakhir, rasanya aku sudah hapal hampir separuh nama teman sekelasku. Metode games itu sangat membantu dan menyenangkan. Bagiku guru guru itu tidak dapat di percaya, tapi ibu guru wali kelasku kali ini terlihat ramah dan baik, aku tidak tau siapa namanya. Sepertinya aku belum datang saat dia memperkenalkan diri.
Ibu walikelas beranjak keluar setelah mengumumkan kalau guru lain akan masuk setelah jam istirahat jadi selama itu kami diberikan jam bebas asalkan tidak keluar kelas. Anak anak dikelas berseru dengan senang.
Aku menoleh memperhatikan teman sekelas ku yang tampaknya sudah saling mengenal, mungkin kebanyakan berasal dari SMP yang sama. Sejauh ini semuanya aman, normal seperti sekolah menengah atas pada umumnya.
Karena bosan kupilih menempelkan kepalaku ke meja dan memutar mutar pulpen di tanganku. Mungkin ku baca buku yang semalam belum terselesaikan. Tanganku meraih ransel dan mengeluarkan buku novel setebal 400 halaman itu. 10 menit kemudian aku tenggelam dalam dunia ku, menyelami setiap kata yang tertulis. Aku seolah menyaksikan jelas apa yang sedang terjadi di buku ini, rasanya seperti menonton film di dalam kepalaku sendiri. Sesekali tertawa karena dialog lucu yang dikatakan tokoh dalam buku, ternyata buku ini sungguh bagus! Tidak sia sia aku bersusah payah mencarinya di toko online.
Tukk
Sebuah benda kecil mengenai belakang kepala ku. Aku sedikit tersentak, cukup kesal karena khayalan kecil ku terganggu. Di bangku belakangku seorang murid laki laki sedang menatapku datar, menempelkan kepalanya di meja. Ia memegang penghapus yang kuduga tadi mengenai kepalaku.
"Aku sedang bosan," katanya
Aku mengernyitkan dahi. Apa dia sedang bicara padaku?
"Berikan aku sesuatu jika tak mau kepalamu jadi sasaran kebosananku."
Benar, dia sedang bicara padaku. Aku menyipitkan mata, siapa pula yang peduli jika dia bosan, kurasa dia patut bertanggung jawab karena sudah mengganggu ketenanganku.
Tukk
Penghapus karet itu baru saja mengenai jidat ku. Aku menghela napas dan memutuskan membalikkan badan, sepertinya tidak ada gunanya bicara padanya. Lebih baik aku lanjutkan membaca buku ku saja
Tukk
Penghapus itu kembali mengenai belakang kepalaku. Sekali, dua kali, tiga kali. Kurang ajar. Aku tidak bisa fokus. Ku letakkan buku yang sedang kubaca di mejanya, ia menatap sampul buku itu sejenak.
"Aku sudah pernah baca itu. berikan aku yang lain."
Aku mendengus dan menatapnya curiga, pasti dia membual.
"Terserah kalau tidak percaya, sedikit info di akhir buku mereka semua mati, tidak ada akhir yang bahagia" Ujarnya sambil menguap
Aku melotot, tidak mungkin. Aku tidak percaya pada pembual ini. Sejauh ini semuanya baik baik saja, petualangan di dalam buku berlangsung sengit dan seru tapi tokoh dalam buku terlihat berhasil mengatasi segalanya. Aku membalikkan badan dan lanjut membaca satu bab yang tersisa. Anak dibelakangku itu masih tetap menjadikan kepalaku sasaran kebosanannya. Kali ini aku tidak peduli pada penghapus itu, aku akan segera menyelesaikan buku ini.
15 menit berlalu, aku menghela napas berat, menutup buku itu dan terdiam. Anak itu masih melempariku penghapus. Sial aku hampir saja menangis, tidak kusangka endingnya akan seperti itu. Yang lebih sulit dipercaya adalah anak didepanku ini. Tampangnya lebih mirip anak yang sehari harinya main video games dan punya banyak followers di media sosial. Lihat saja rambutnya yang tergolong panjang melebihi ketentuan sekolah, tidak ada badge nama di seragam, kulit yang terlalu putih untuk anak laki laki dan ekspresi yang terlihat tidak selera melakukan apapun. Seharusnya anak seperti dia punya geng yang isinya siswa nakal populer dan punya banyak fans.
"Aku tau kamu sedang berfikiran yang tidak tidak tentang ku, dan Aku tau aku tampan. Tapi tolong santai, tatapan mu seolah ingin menelanku hidup hidup."
Aku mengangkat bahu. Ya mau bagaimanapun juga penampilan itu mempengaruhi pemikiran orang, bukan?
"Jaman sekarang siapapun bisa suka membaca, bahkan aku tidak akan heran jika pak satpam sekolah fasih berbahasa Zimbabwe atau hafal nama seluruh tokoh Harry Potter. Tidak baik menilai orang dari tampilannya. Dan hei kau tau tidak, dulu sekali celana dalam itu dianggap barang mewah" Dia diam sejenak kemudian terkekeh mendengar penjelasannya sendiri
Anak ini sungguh aneh. Entah ide darimana ia tiba tiba membahas celana dalam. Tapi bagimanapun juga aku tidak akan mengelak kalau dia orang yang menyenangkan.
"Aksara."
"Nala."
Cara berkenalan yang sangat tidak keren, tapi aku bersyukur dia menyapa ku duluan.
Aksara menepuk mejanya dan mengarahkan jari telunjuk ke wajahku "Aha! Itu kata pertama yang kamu ucapkan sejak masuk ke kelas."
Bel istirahat berbunyi. Murid berhambur keluar kelas, ku keluarkan buku kecil dari kantong ku dan menulis kalimat singkat
Aksara, teman pertamaku
**