Sehelai kain perca putih yang digoreskan tinta hitam pekat di atasnya. Telah melekat, dan tertera dalam sebuah kisah yang ditulis pada era 1870.
Menuai banyak kisah kasih pemuda - pemudi yang begitu kontroversial. Tepatnya di salah satu celah jendela negara bagian Amerika, yang menganut tradisi perjodohan, atau lebih tepatnya menikahkan putri mereka dengan bangsawan Inggris demi sebuah gelar.
Meski orang Amerika ini memiliki perekonomian yang bisa dibilang lebih dari cukup dan merupakan keluarga berada, mereka masih menganggap diri mereka ini orang biasa, karena tidak memiliki gelar bangsawan. Hal ini tidak dapat mungkin mereka terima karena mereka menginginkan aristokrasi yang kuat, yang melekat dengan nama untuk menaikan status derajat mereka.
Sulitnya mendapatkan gelar bangsawan di Amerika, mengharuskan sebagian orang orang disana untuk merelakan putri - putrinya dan dijadikan istri oleh para bangsawan. Sekali lagi, kedua belah pihak mungkin bisa tidak saling memiliki cinta yang berbalas, karena sebuah perjodohan semata.
Kecantikan wanita - wanita Amerika bisa dibilang tiada bandingannya. Kulit putih bersih sedikit pucat, atau bisa dibilang flawless tanpa menggunakan polesan apapun, menjadikan wanita - wanita tersebut adalah pasangan yang ideal dan diidam-idamkan oleh para pria.
Charlotte Luivianne van Hoëvell
Gadis yang memiliki bentuk tubuh yang mungil namun semampai itu adalah seorang lajang berusia 23 tahun yang usianya sangat matang untuk melakukan sebuah pernikahan.
Sama seperti mendiang sang kakek, Hoëvell Robins, yang sama sama lahir di Den Haag, Belanda, Charlotte adalah gadis berkebangsaan belanda yang lahir dari rahim perempuan Amerika dan menjadi satu - satunya primadonna di suatu kota kecil di yang terletak di New York.
Bersama 5 saudaranya yang lain David Hoëvell, sang kakak yang teramat strict dalam mengurus semua urusan apalagi perihal adik kesayangannya, yang sering dia sebut Anne, padahal sang adik lebih suka dipanggil dengan nama lengkapnya Charlotte.