2| Hari-hari Berduka

31 6 6
                                    

Jika aku lupakan, akan aku koyak kepalaku hingga ingat. Jika aku ingat, akan aku koyak wajahku hingga menyesal.

Aku manusia lemah yang bahkan tidak bisa menjalankan satu tugas dan melindungi seorang perempuan. Si realis yang terjebak dalam pribadi seorang pesimis. Terus mengorek habis apa yang hampa seraya meneriakan lantunan penyesalan. Apa yang telah terjadi tidak lagi bisa diperbaiki. Pula, tidak lagi bisa aku untuk lupa akan yang sudah terjadi. Jika aku boleh berharap, saat itu, ketika aku sadar di rumah sakit umum desa, biarkan aku sadar dalam keadaan amnesia atau jangan biarkan aku untuk sadar sama sekali. Ini terlalu berat untuk diterima.

Luka tusuk yang merobek lambung dan mengakibatkan pendarahan hebat. Mereka bilang, mungkin saja Nana masih bisa selamat jika dibawa satu hingga dua jam lebih awal. Sayangnya itu tidak terjadi. Kami baru ditemukan tiga jam setelah aku tidak sadarkan diri. Selama waktu kemungkinan itu, Nana sudah kehilangan nyawanya. Hanya aku yang selamat.

Tidak ada laporan kerusakan yang berarti di tempat kejadian. Justru, tempat itu seperti tidak tersentuh sama sekali. Tali yang mengikat pohon sakura itu pun masih utuh dan tidak ada bukti fisik akan adanya bekas apapun. Hanya debu roh yang bisa dilihat para pembasmi yang dapat menjadi bukti. Ayah dan para pembasmi lain menemukan itu tersebar di sekitar tempat kejadian.

Malam itu seperti kelopak sakura yang tertiup angin. Tidak meninggalkan bekas apapun. Sebuah perpisahan tanpa 'selamat tinggal' ataupun 'sampai jumpa'. Meski begitu, debar ketika angin berhembus membawa yang berarti dalam hidupmu itu pergi, akan selamanya menyisakan hawa dingin dan hamba dalam rongga dada.

Apa yang terjadi setelahnya berlangsung cukup pesat. Hari pertama, tubuhnya diotopsi. Hari kedua, tubuhnya dikremasi. Dan di hari ketiga, tubuhnya pun akan terbang dibawa angin, dengan kami di kuil menyesali lewat air mata. Aku terlanjur lelah di hari pertama. Air mataku seolah habis semenjak aku pertama sadar. Dua hari setelahnya kulalui dengan datar. Mau tidak mau, merelakan dirinya pergi dari keseharianku.

***

"Mau sampai kapan kamu merenung?" ayah yang duduk di seberangku tiba-tiba memecah sunyi.

Wortel yang aku kunyah dengan sekuat tenaga pun aku telan dan hampir membuatku tersedak. Setelah setengah gelas air kutenggak, aku pun baru bisa menanggapi. "Ada apa tiba-tiba?"

Dia melahap karinya dengan amat lahap. Kari non-vegetarian itu ironisnya dimakan sang biksu seperti hidupnya bergantung pada semangkuk rempah dan nasi itu. "Tidak, hanya saja..."

"Kunyah dulu, lalu telan!" seruku.

Dia pun mengikuti kata-kataku dan menelan gumpalan besar di mulutnya itu bulat-bulat. "Kita ini sama kan? Biasanya kamu cepat makan dan tidak pilih-pilih. Kenapa beberapa hari terakhir, setiap kali dirimu makan sayuran, seakan-akan kamu sedang ikut lomba lari maraton? Kamu mengunyah dan menelan dengan sekuat tenaga."

Jujur saja, aku sendiri tidak tahu. Biasanya juga aku yang memasak di rumah dan menu yang kusediakan pun tidak jarang dibarengi dengan sayur-mayur. Apa benar kata ayah, aku masih dalam tahap merenung? Sehingga nafsu makanku pun turun. Untuk menjawab ocehan ayah, aku pun mengangkat bahu dengan terus berusaha mengunyah wortel dan kentang yang tersisa di piring.

Ayah menghela nafas. "Kalau begitu, besok kamu tidak perlu memasak. Ayah akan belikan sesuatu agar mood bujanganmu itu kembali. Akan merepotkan jika kamu bekerja dengan kondisi seperti itu."

"Terima kasih untuk beban pikirannya."

"Itu tentu saja!" piringnya yang sudah bersih pun diangkat dan dibawa ke wastafel. Selama itu juga, dia melanjutkan ucapannya. "Laki-laki harus kuat dalam keadaan apapun. Walalupun kamu sedang dalam tahap merenung, kamu tetap tidak boleh ingkar dari kewajiban. Tinggal menghitung jam sebelum acara pernikahannya digelar. Sampai saat itu, tahan saja dulu."

Fox-TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang