4| Tulus dan Rela

19 2 0
                                    


Pagi kuawali dengan sebatang timun. Karena kejadian kemarin, aku jadi sulit tidur dan berakhir terbangun satu jam sebelum acara dimulai. Tidak banyak yang kulakukan untuk merawat diri sehabis bangun. Yang ada, aku langsung bergegas dengan setelan apa adanya dan sebatang timun segar tangan. Tidak ada yang mempertanyakan bagaimana aku mengunyah timun itu mentah-mentah sesampainya di halaman depan kuil. Aku bisa melihat, si pengantin wanita agak menatapku aneh. Tapi, tidak dengan si pengantin pria. Dia menghampiri dan menyapaku kasual, lalu bertanya mengenai ini-itu acara. Aku sendiri pun tentunya menanggapi dia seperti bukan masalah sampai timun itu benar-benar habis.

Acaranya dimulai pagi hari, dengan mengundang keluarga dari masing-masing mempelai dan sedikit dari rekan-rekan terdekat mereka. Alhasil, kuil pun tidak begitu ramai selayaknya pernikahan gaya barat pada umumnya. Waktu berjalannya acara pun tidak begitu lama. Jadi, siangnya kedua mempelai bisa menghabiskan waktu membuat anak selagi menunggu kumpul keluarga saat malamnya.

Aku yang sudah menuntaskan semua keperluanku pun tidak memiliki apa-apa lagi untuk dilakukan saat acara dimulai. Ayah di lain pihak akan menjadi pendeta yang memimpin jalannya pernikahan. Setelan yang dia pakai dengan kepalanya yang botak bersih itu membuat dia sangat cocok memegang peran itu. Sesekali aku terkekeh selama duduk di pojokan, memperhatikan jalannya acara.

"Ada yang lucu dari ayahmu, kah? Hiro." seorang lelaki paruh baya menghampiri seraya berkata demikian.

Dari suaranya saja, aku langsung tahu siapa orang itu. Senyum pun kutarik. "Kapan lagi aku bisa menertawakannya dari belakang? Paman Igarashi."

"Hubungan kalian itu memang aneh, ya? Paman jadi iri." pak tua itu pun duduk di kursi panjang yang sama denganku. Sama seperti ayah, terlepas dari usia keduanya yang sudah kepala lima, figur mereka masih terlihat kokoh.

Dia dan ayah adalah rekan sesama pembasmi. Hanya saja, berbeda dengan ayah yang bekerja secara langsung di lapangan, paman Igarashi lebih banyak menghabiskan waktunya di balik layar. Seorang ahli pedang khusus aliran Hirabayashi serta pandai besi yang menempa Reiki untuk para pembasmi. Tidak lupa juga, guru olahraga di SMA-ku dulu. Dialah kerabat tak sedarah yang kuanggap seperti paman sendiri.

"Paman sendiri sedang apa? Ada urusan dengan ayah, kah?" tanyaku balik tanpa memalingkan pandang.

"Hanya menghabiskan waktu sedikit. Selain itu..." dari saku celananya dia mengeluarkan kunci mobil dan memberikannya padaku. "Bisa kamu turun dan mengantar beberapa terpal ke pelabuhan? Ada seseorang yang ingin menumpang juga, jadi kuharap kamu bisa cepat ke sana."

Aku menerima kunci itu. "Boleh saja, tapi kenapa tidak paman sendiri yang lakukan?" apalagi setelah dia sendiri yang bilang, jika dia sedang senggang.

"Nanti juga kamu tahu."

Mata kugulirkan malas, lalu mulai hendak beranjak. "Ya, sudah."

"Ah-, Hiro. Sebelum kamu pergi, aku ingin bertanya."

"Apa?"

"Malam itu, apa terjadi sesuatu? Pada pohon Sakura yang dirimu jaga."

Aku terdiam sesaat, lalu menjawab dengan sedikit menarik senyum. "Tidak."

Paman melihat itu, sebelum akhirnya mengalihkan pandang diikuti dengan helaan kecil. "Ho..."

Aku pun kembali menghadapnya untuk bertanya. "Kenapa memangnya?"

"Kudengar, putri sulung dari keluarga Koizumi akan kemari untuk menginvestigasi." paman berdecik, "Dasar, orang-orang modern itu selalu ikut campur saja."

"Kalau tidak salah, dia itu pembasmi modern yang selalu membawa makhluk kontraknya kemana-mana itu, ya? Aku pernah dengar."

"Ya, orang yang benar-benar merepotkan."

Fox-TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang