Aku tidak pulang. Malam kuhabiskan di dalam gudang, merebahkan tulangku di atas sofa yang tidak lebih nyaman dari futon. Tidak ada alasan khusus untukku menetap di sana. Hanya keiingin tanpa dasar apapun.
Paginya, aku membasuh badan di kamar mandi gudang. Ya, meski tempat ini adalah benar sebuah gudang. Tempat ini sebenarnya lebih dari cukup untuk disebut sebagai rumah, karena fasilitasnya yang terbilang memadai. Kamar mandi kecil ini adalah salah satunya. Jamban jongkok serta bak mandi berada dalam satu ruangan tanpa sekat. Modelnya terbilang lama, terlihat jelas dari pemanas yang digunakan di sini. Ada tungku api di luar kamar mandi yang terhubung langsung dengan bak, sehingga ketika musim dingin datang, aku harus meminta seseorang untuk menunggu di depan tungku selagi aku berendam.
"Leganya..." desahan kecil kulepas, menikmati sejuknya air di tengah-tengah bulan Juni.
Bak mandinya tidak begitu besar, jadi aku harus menekuk kaki di dalam. Bahu kusandarkan pada permukaan datar bak, sebisa mungkin membuat diriku santai. Ada jendela kecil yang sengaja dipasang di samping bak, agar siapapun yang sedang di dalam dapat mengeluh soal panas air ke mereka yang susah-susah mengipasi perapian di bulan desember. Aku tidak terkecuali.
Kubuka jendela untuk sekadar melihat pepohonan dan menghirup embun pagi yang masih sejuk. Suasana begitu tenang dan nyaman, hampir merayuku untuk kembali terlelap. Nabe, Aki, dan Yuu yang menatapku pun seakan melebur dengan latar. Dengan polosnya, anak-anak itu...
"Tunggu... APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!" teriakku spontan.
""Pagi Kak Hiro!!!"" seru mereka serentak, kecuali Nabe.
"Aku tidak butuh sapaan dari kalian! Kenapa kalian ada di sini?!"
Yuu seperti biasa menekan kacamatanya, lalu mulai bertutur dengan kesan 'cool'. "Kak Hiro, seperti biasa... Harusnya lebih waspada."
Ya, kamu benar. Keringatku dan bau sabun ini membuatku tidak menyadari kalian. Harusnya aku lebih hati-hati.
"Kak Hiro! Bisa ikut kami ke toko jajanan?" kali ini Aki yang bersahut.
"Boleh, tapi kenapa tiba-tiba?" tunggu dulu, kenapa dari tadi yang ribut justru mereka berdua? Nabe sedari tadi hanya diam. Rautnya bahkan tidak terlihat seperti biasanya.
"Sebenarnya, kak..." Yuu mengayunkan tangannya untuk mengisyaratkanku mendekat.
Aku pun menjulurkan sebagian badan untuk mendekatkan telingaku padanya. Bisikan yang kurasa tidak bisa didengar dari posisi Nabe berdiri saat itu pun berdengung. Kemudian, seperti pada adegan sebuah anime, aku pun terkejut aka napa yang baru saja dibisikkan Yuu, sedang Nabe hanya di sana menatap kami penuh kebingungan.
"Apa?" tanyanya singkat pada kami.
Seutas senyum kuberikan padanya, lalu kubalas pula singkat. "Tidak."
***
Kuikat rambutku dengan kain hitam polos hingga hanya rambut belakangku yang terlihat. Musim panas sudah dekat, jadi aku dan anak-anak pun berpakaian lebih santai dengan dominan kaos tanpa lengan dan celana pendek.
Yuu masuk lebih dulu dengan kacamatanya bersinar dan sapaan singkat, "Pagi." Nan cool.
Sedang aku, Aki, dan diikuti Nabe di belakang menyusul dengan 'lebih normal'.
"Pagi, nek..." sapaku reflek, hingga melihat siapa yang duduk di balik meja kasir dan menopang senyumnya padaku. Bodohnya aku sampai lupa.
"Pagi~♥" sapa si rubah, melempar hati padaku melalui kedip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fox-Tale
RomancePertemuan tidak selalu berawal dari sesuatu yang baik. Duka dan luka sepeninggalan teman masa kecilnya mempertemukan Hirabayashi Hiromichi dengan seorang gadis rubah berekor sembilan yang selama ratusan tahun lamannya tersegel di dalam batang pohon...