paper three.

3 1 0
                                    

Cerita ini tidak cocok untuk anak usia 13 tahun kebawah karena mengandung kata kasar serta kekerasan. Pembaca diharapkan dapat mengawasi anak, adik, atau keponakan dalam penggunaan gadget. Pintar-pintarlah memilih apa yang Anda baca dan jadilah pembaca yang bijak.









Langit jingga, matahari setengah tenggelam. Air mata masih terus berlinang di pipi Adine. Bukan, bukan karena Agnibrata yang tergeletak di lantai dingin Rumah Cession. Tetapi wanita paruh baya lainnya yang tergeletak lemas dengan wajah pucat.

Tidak ada siapapun disana. Para pelayan yang diutus telah berkhianat. Mereka meninggalkan tempat tanpa pamit. Rumah terasa begitu sunyi. Tangisnya tidak dapat dihentikan. Matahari terbenam, halilintar menyambar pun Ia akan tetap menangisi keadaan saat ini.

Tok tok tok suara ketukan pintu membuatnya terdiam sesaat. Ia menghapus air matanya. Tangan kanannya menggenggam gagang pintu. Ia membuka pintu depan Rumah Cession dengan hati-hati. Sesosok wanita dengan tudung berwarna hitam berdiri tepat di depannya.

Wanita bertudung itu tertawa melihat pemandangan di depannya. Baju lusuh, muka kusut, sungguh menyedihkan. Ia membuka tudungnya untuk melihat keadaan dengan lebih jelas. Adine tampak kebingungan dibuatnya. Wanita itu tidak terlalu tua. Harus Adine akui wanita ini parasnya sangat cantik.

"Kau akan membiarkannya begini dan menangisi keadaan terus menerus, Adine?"

Adine mengernyitkan dahinya. Begitu banyak tanda tanya menghantuinya. Siapa wanita ini? Mengapa Ia mengetahui namanya? Padahal mereka tidak pernah saling kenal. Ia tak dapat mencerna apapun saat ini. Ia terlalu lelah untuk memikirkan jawaban atas seluruh pertanyaannya.

Baju hitam, tudung hitam, sepatu hitam, semua serba hitam. Aneh. Hanya itu yang dipikirkan oleh Adine. Dalam perang melawan Mahaprana Ia tak melihat wanita aneh ini. Walaupun perang tersebut berlalu begitu cepat sebelum seluruh serangan Benjamin dikerahkan, Ia dapat mengingat beberapa wajah yang ada di medan perang saat itu.

"Adine, apakah kau akan berdiam diri disana untuk selamanya?"

Wanita itu terus bertanya sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Adine. Ia tak mengerti dengan Adine. Manusia ini hanya berdiam diri tanpa ekspresi. Tatapannya juga tampak bingung. Apakah Adine lupa siapa yang telah Ia temui? Tertawa kecil dengan melipat tangan, Ia tak habis pikir dengan Adine.

"Apa kau tidak mengingatku?" Tanya wanita tersebut kepada Adine untuk ketiga kalinya. Adine yang sejak tadi berdiam diri mulai mengeluarkan suara setelah bergelut dengan pertanyaan yang ada di benaknya sejak tadi. "Siapa kau? Kurasa kita belum pernah bertemu," begitulah ucap Adine menatap wanita itu dengan tegas.

"Oh, mari berkenalan, aku Atmariani Yetri Benjamin, pada awalnya begitu kini namaku menjadi Atmariani Yetri Aradhana setelah diusir oleh kaummu, Adine."

Kini Adine ingat siapa wanita di depannya itu. Dia adalah Atmariani Yetri Benjamin atau haruskah Adine mengganti nama belakangnya dengan Aradhana?

Masa lalu yang menyedihkan. Atmariani rela berlari begitu jauh dan menikahi putra sulung Mahaprana, Hadinata Mada Mahaprana. Ia mengingatnya sekarang. Seluruh pengkhianatan yang dilakukan Atmariani karena telah berani menikahi manusia dari bangsa yang serakah seperti Hadinata Mahaprana.

Adine menutup mulutnya karena terkejut. Ia tak pernah mengira akan bertemu dengan Atmariani secepat ini. Apakah Atmariani pulang untuk pergi ke pemakaman kakaknya, Agnibrata Benjamin, atau untuk menemui ibunya yang juga harus dimakamkan hari ini? Tidak mungkin. Atmariani tidak mungkin pulang.

"Kau tahu wajahmu terlihat sangat menjijikan hari ini, Adine."
"Apa yang kau lakukan disini Atmariani?"
"Baiklah mari kita persingkat pertemuan ini."

Kobaran api yang hanya membakar setengah dari mata Atmariani menatap Adine. Adine yang saat itu hanya berdiam diri tak dapat menghindari tatapan Atmariani. Devil Eye Atmariani sangat lemah apalagi dengan keadaan yang hanya separuh mata yang mampu diaktifkan.

Atmariani telah mencuri kekuatan inti jiwa milik ibunya sendiri. Adine mencoba untuk tidak berteriak agar Atmariani gagal mematikan kekuatan inti jiwa miliknya.

"BERTERIAKLAH ADINE, BERTERIAKLAH!!!"

Atmariani memaksakan matanya hingga mencapai batas. Lama kelamaan kobaran api pada mata Atmariani memadam. Adine berhasil melepaskan belenggu Atmariani. Mata kiri Atmariani, mata yang digunakannya untuk mengaktifkan Devil Eye, memerah dan berair. Ia tidak berhasil membunuh Adine saat itu juga.

"Kau buta akan dendam, Atmariani."
"Terserahlah, aku akan memenangkan daerah teritorial milik Benjamin dan Mahaprana suatu saat nanti, ingat itu Adine."

Atmariani memacu kudanya. Ia telah pergi. Entah kemana Adine pun tak mau tahu.

——

Atmariani mengucapkan kata berteriak pada Adine karena bentuk dari pelepasan kekuatan Devil Eye yang juga berarti orang tersebut telah terbakar jiwanya seiring dengan teriakannya yang menggema di telinga sang Devil Eye.

Dukung cerita ini dengan memberikan vote dan komentar yang membangun, ya!

ring of the honesty. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang