11. tentang Almayra

49 10 0
                                    

Mereka hanya melihat sisi kuatnya, bukan rapuhnya;)

***

"Mas, aku takut kalau Kana kenapa-kenapa," ucap Yulia kepada Reno yang memijit pelipisnya pusing.

"Kita positif thinking aja yah, mas janji bakalan memberantas orang yang sudah membully Kanaya," Reno menenangkan sang istri yang dilanda perasaan cemas sekaligus khawatir.

Silvi masih mengintip orang tuanya yang masih berbicara diruangan tengah, padahal saat ini sudah lebih tengah malam, Silvi yang baru saja pulang dari club malam mengendap-endap masuk eh malah menemukan masalah seperti ini,lagi.

"Kanaya lagi, Kanaya lagi! Capek gue denger nama cupu itu selalu disebutin!" Silvi membuang nafas kasar. "Lah gue kapan?" lirihnya.

Silvi mengeleng kuat, bagaimanapun ia harus terlihat tegar seolah tidak terjadi apa-apa, orang hanya bisa menilai dirinya dari luar tanpa mau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan percaya diri Silvi melangkahkan kakinya melewati dua sejoli yang dilanda khawatir pada 'putrinya' yang sehabis pulang sekolah pasti menangis, walau Kanaya tidak pernah berkata apapun, namun Yulia selalu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Pulang malam aja terus, mau jadi apa kamu?!" kata Reno menatap sinis kearah sang anak.

"Manusia," sahutnya membuat emosi Reno memuncak.

"Jangan pernah bantah omongan papa!"

"Pa! Silvi hanya mencari kesenangan, Silvi muak di rumah! Kalian selalu mikirin kanaya-kanaya, Kanaya aja terus!" ujar Silvi, dengan nada sedikit membentak.

Yulia bangkit dari duduknya, ia mendekat kearah Silvi dan..

Plak!

Tamparan mendarat dipipi Silvi, "Kana itu anak saya!" tajam Yulia mengingatkan.

"Oh iya, maaf nyonya Yulia Amandita, saya lupa kalau saya bukan siapa-siapa disini," kata Silvi. "Saya memang bukan anak kandung anda, tapi saya juga manusia!" Bentak Silvi.

"SILVI PAPA MUAK DENGAN SIKAP KAMU!" bentak Reno.

Plak!

"Ayo pa, tampar Sisil lagi!"

Plak!

"Lagi pa, biar bunda tau bagaimana menderitnya Sisil saat bersama papa, seharusnya Sisil ikut bunda!" teriak Silvi.

Air matanya tak bisa dibendung lagi, ia berlari menuju kamarnya, namun sebelum itu ia berhenti tepat di depan kamar Kanaya. Silvi tersenyum menyeringai.

Ia membuka pintu, menemukan Kanaya yang sudah terlelap dengan mata yang membengkak.

"Jadi ini, perebut kasih sayang ortu gue?" Ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Kanaya.

Kanaya membuka matanya terkejut, apa yang ia lihat saat ini?! Silvi menangis dihadapan namun senyuman masih terukir jelas disana.

"Sil, kamu ke-kenapa?" tanya Kanaya ketakutan, ia turun dari ranjangnya melangkah mundur menjauhi Silvi, dia tau Silvi mempunyai niat buruk kepadanya.

"Perebut," gumam Silvi.

"Ke-kenapa sil?"

"LO PEREBUT BANGSAT!" teriak Silvi, untng kamar Kana dirancang kedap suara agar tidak menganggu konsentrasinya saat belajar.

Plak!

Silvi menampar Kanaya, membuat sang empu tersungkur darah segar mengalir disudut bibirnya.

"Silvia, maafin kaka."

"Kenapa papa selalu milih lo dari pada gue?!" teriak Silvi lagi.

Bugh!

Silvi menendang perut Kanaya keras, melampiaskan kekesalannya yang selama ini ia pendam sendirian, sendiri tanpa teman.

"Kenapa papa selalu ngebela Lo! Ngebandingin gue sama lo! Lo cupu! Lo lemah! Gue benci sebenci-bencinya sama lo!"

"Pergi Lo sama mama jalang Lo dari kehidupan gue! Dasar perusak! Anjing! Bangsat! Agrhh!!" Silvi menarik rambutnya frustasi.

"Maafin kaka sil, Kaka belum bisa menjadi Kaka yang baik buat kamu, uhuk-uhuk." lirih Kanaya mulutnya mengeluarkan darah segar, mungkin efek dari tendangan Silvi yang terlalu kuat.

"Siapa Lo? Lo bukan kakak gue! Lo cuman anak jalang yang gue kenal!"

Silvi menatap tajam kearah Kanaya. Ia pergi tak lupa menutup pintu, rasa kesalnya sedikit berkurang.

"Silvi butuh bunda."

***

Disinilah Silvi, disebuah pemakaman yang sepi, dan sunyi, mungkin karena sudah hampir mendekati waktu subuh, matahari saja masih malu menampakan sinarnya.

"Hai Bunda? Apa kabar? Maaaf Sisil jarang ke makam bunda lagi."

Silvi tersenyum simpul, ia meletakan bunga mawar (hasil memetik di taman tetangga) di atas gundukan tanah yang ditumbuhi banyak rerumputan.

'mayang'

"Bunda, nama Almayra itu dari nama bunda yah? May. Maya Mayra." Silvi terkekeh kecil. "Pantes saja dulu Arkan selalu panggil Sisil dengan nama may."

"Tapi bunda, Arkan nggak nepatin janjinya sama Silvi, dulu Arkan pernah janji buat jadi sandaran Silvi ketika lagi nangis, tapi sandaran itu hilang bunda.." Silvi menghapus air matanya yang tiba-tiba saja terjun bebas. "Hehe, malah nangis."

"Seharusnya dulu bunda nggak usah lahirin Silvi, karna Sisil bunda jadi kehilangan banyak orang yang sayang banget sama bunda.

Bunda tau? Bahkan Sisil saja selalu disalahkan karena kematian bunda, padahalkan Sisil gak tau, mereka jahat yah bunda."

"Apa bunda juga marah karena Silvi nakal? Sama kaya jalang dan papa."

"Bunda, Rona itu yang bantu Silvi keluar dari keterpurukan."

Rona Meriska, seorang gadis yang suka membully ini adalah sahabat dekat Silvi ketika Arkan mondok. Silvi yang suka dibully ketika masih SD selalu di bela oleh Rona.

Rona mengatakan pada Silvi bahwa ia harus melawan orang yang dia tidak suka. Pertemanan Silvi dan Rona bisa dikatakan awal sebuah pergaulan bebas yang Silvi rasakan, ia biasanya diajak mabok oleh Rona, ke clubing membully. Silvi yang polos itu berubah menjadi malaikat pembunuh yang ditakuti, ia tidak segan segan dalam hal kekerasan.

Karna otaknya sudah dibawah kendali Rona.

Sadis.

Namun sekejam-kejamnya seorang Silvi, ia juga memiliki sisi rapuh yang paling jarang orang temui, Silvi yang mempunyai mental kuat, tahan dengan hinaan atau cacian apapun! sebenarnya Silvi rapuh. Silvi yang suka menyiksa orang! Dirinya juga sakit ia hanya




TBC.

Tinggalkan jejak♥.

MAY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang