O6

404 75 50
                                    

❲ frasa dan suara ❳

Hari ini Yuda datang lebih awal dari jam-jam biasanya ia berkunjung ke pemukiman kumuh itu. Alasannya sudah bisa ditebak, pemuda asal Yogyakarta itu merindukan sang pujaan hatinya.

Kalau diingat-ingat, kemarin sore waktu Ima mencium pipinya, jantungnya serasa mau copot alias berdetak dengan sangat kencang. Bahkan walau hanya mengingat hal itu, jantungnya kembali berdetak lebih cepat dari tempo biasanya. Wajahnya pun memanas. Kamera digenggaman tangan kanannya ia remas-remas. Tangan kirinya malah mengelus-elus bagian pipi yang dicium Ima. Rasa lembut bibir merah muda yang menyentuh pipi bagian atasnya itu seakan masih terasa.

Mengingat rasa, sensasi, dan euforia itu membuat Yuda tanpa sadar tersenyum manis tanpa henti. Hingga ada seseorang yang menggebrak meja didepan kursi yang ia duduki. Sang pelaku merupakan pemilik toko kelontong yang disinyalir menjadi toko terlaris di daerah sekitar, siapa lagi kalau bukan Sulastri Kartasasmita.

“KANG YUD!” Yuda tentu saja terperanjat kaget.

“E-eh, Mbak Sulastri...,” panggil Yuda kikuk.

“Santuy, Yud... Gak bakal ane gigit kok,” ujar Sulastri sambil tersenyum misterius.

“A-ada apa e mbak?” Yuda bertanya sambil memandang gugup pada Sulastri karena tadi ia kepergok sedang tersenyum-senyum sendiri.

“Ngapain hayo senyam-senyum kek begitu?” Sulastri memandang penuh selidik.

“Inget itu... Anu... K-kejadian lucu!” Salah satu ciri khas Yuda saat berbohong adalah; selalu mengatakan ‘anu’ dan ‘itu’ disertai omongan yang terbata-bata. Bukan salah satu sih itu, salah dua.

“Masaaaaaa??” Pandangan Sulastri pada Yuda semakin kelihatan jahil. Seketika Yuda menelan ludahnya gugup.

“Hahh... Itu lho... Aku mikirin Ima, mbak...” Sulastri tersenyum puas sebelum kembali bertanya.

“Ngapain ente mikirin anak orang?” Yuda tercengang. Bingung mau menjawab apa.

“Um... Anu... Itu lho... Apa yo? Aduh...” Karena terlalu bingung, ia malah berakhir dengan mengacak-acak rambutnya sendiri.

Pfft---santay, Yud... Ente tenang aja, ane tuh anti ember-emberan!” Yuda mengangguk mengerti. Mencoba memantapkan diri untuk bertanya. Agaknya dia ingat kata pepatah, malu bertanya sesat dijalan. Oh- kalau bisa, soal masalah percintaannya dengan Ima, Yuda tak mau sampai dapat ilmu sesat hanya dikarenakan overthinking-nya.

“Anu, mbak... Ima itu biasa cium-cium orang yo?” Raut wajah Sulastri berubah menjadi penuh tanya.

“Hah? Pa maksud? Kalau soal cium-cium nih ye... Yang ane tau, si Ima tuh emang sering cium Pak Handoko sama Rahmat... Diluar keluarganye kek nggak pernah.” Yuda membelalakkan matanya.

Apa ini berarti Yuda dianggap berharga? Apa ini berarti Ima menyukainya juga? Dalam pemikiran logis Yuda, ia sangat menolak. Tapi yang namanya cinta ya... Banyak nggak logisnya sih.

Apa iya, Yuda dianggap sebagai keluarga? Dianggap kakak? Yang benar saja... Kakak-adik zone gitu?

Batin dan pikirannya tengah berdebat kali ini. Yuda menghela nafas gusar. Ia tak tahu bila cinta akan membuatnya sebegini galaunya.

“Kang Yud? Lesu banget ente keliatannye...,” ujar Sulastri prihatin pada kondisi Yuda yang tak seperti biasanya.

Ndak mood aja gitu, mbak...,” jawab Yuda masih dengan nada lesu.

✧ FRASA DAN SUARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang