11

379 67 109
                                    

❲ frasa dan suara ❳

Sejenak, Yuda dan Handoko saling menatap. Yang satu menatap linglung, yang satunya lagi menatap dengan tatapan super tajam. Ima yang hendak menengahi jadi ikut linglung.

“Maaf, siapanya Ima ya?” tanya Handoko to the point.

Yuda sudah berniat menjawab pertanyaan tersebut. Namun apa daya, mulutnya malah hanya terbuka dan tertutup layaknya ikan. Tak ada suara yang dihasilkan pita suaranya.

Ima yang semula duduk di lantai, kini bangkit untuk berdiri dihadapan Yuda, berlagak layaknya pelindung.

“I-ini... Pacar I-ima!” Mata Handoko memincing tatkala anak angkatnya itu mengucapkan kalimat itu. Ia kaget kenapa Ima bisa mendengar percakapannya dengan Yuda.

Disingkapnya rambut putih gading itu. Memperlihatkan telinga mungil Ima yang terdapat alat bantu kecil berwarna hitam. Tatapannya bertambah tajam.

“Kamu dapet darimana?” tanya Handoko. Ima langsung saja menunjuk Yuda.

“P-pacar Ima!” Yuda sudah siap bila wajahnya ditonjok oleh Pak Handoko.

Si bos preman pasar menghela nafas kasar. “Masuk!” titahnya. Namun Ima malah menggeleng-gelengkan kepalanya, tak ayal hal itu membuatnya naik pitam.

“MASUK!” Handoko membentak Ima seraya menendang perut Yuda yang masih terduduk.

“A-agghh....” Yuda jadi menyesal, kenapa ia sebagai laki-laki dewasa malah kesakitan saat kekasihnya ditarik paksa oleh calon--ehem--mertuanya. Insyaallah.

“M-mas Y..yuda!!” Ima mencoba berteriak hingga suaranya terdengar begitu serak.

“I-ima... A-agghh!” Mau bagaimanapun, sakitnya tendangan Pak Handoko itu tidak main-main. Yuda saja tak kuat berdiri.

Pintu ditutup dengan cara dibanting. Yuda hampir putus asa. Seketika pikirannya kalut. Takut-takut bila didalam sana Ima sedang dihukum menggunakan kekerasan.

Tiba-tiba tepukan pelan menghampiri bahunya. Yuda menoleh dan mendapati Rahmat dengan wajah sedih.

“Percaya atau nggak, Ayah dijamin ga bakal nyakitin Ima secara fisik.” Yuda mengangguk lesu. Setidaknya ketakutannya tak akan terjadi. “Pulang gih. Gue pantau kok, santai aja. Palingan juga Ima ga boleh keluar seminggu,” lanjut Rahmat.

Yuda menatap Rahmat dengan raut putus asa. “Seminggu, mat?” Maaf saja, Yuda tak dapat menahan rindu selama itu.

“Iya, itu masih mendingan. Daripada Ima gak boleh keluar samasekali. Btw, perut lo gpp kan?”

Yuda mengangguk-angguk. “Udah mendingan. Makasih mat... Aku pamit ya, Assalamualaikum!”

Wa'alaikumsalam...”

Yuda berjalan dengan lesu menuju motornya. Jika diingat-ingat, seminggu lagi, ia harus ke kampung halamannya. Mungkin ia bisa nego telat beberapa hari ke ibuk-nya. Agar setidaknya, ia bisa pamit pada Ima.

❲ frasa dan suara ❳

Tujuh hari telah berlalu, Yuda seharusnya sekarang sudah pergi ke Yogyakarta, namun ia telah konfirmasi pada ibuk-nya bila masih ada keperluan, jadi ia akan telat sehari. Sang ibuk pun mengizinkan tanpa bertanya tentang keperluan yang Yuda maksudkan.

Sambil menunggu Ima, Yuda duduk-duduk di depan warung Sulastri. Berdasarkan informasi Rahmat kemarin, Ima mungkin akan diperbolehkan keluar, karena kemarin suasana hati sang Ayah terlihat baik.

Namun, tiba-tiba Rahmat berlari ke arah Yuda saat si pemuda Yogyakarta itu baru beberapa menit duduk. “HEEEE!” panggil Rahmat.

“Lho? Kenapa, Mat?” Rahmat masih belum menjawab. Nafasnya masih tak karu-karuan.

✧ FRASA DAN SUARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang