KEDAI 5. Bunga dan Celana Butut

3.3K 335 69
                                    


Mama selalu berlebihan jika segala sesuatunya menyangkut Erin Ekavoni, kakak perempuanku. Erin berusia 23 tahun dan yang ada di kepalanya cuma pernikahan, seolah akan ada hukuman dari pemerintah kalau dia berusia 23 dan belum naik ke pelaminan. Maksudku, 23 tahun bukan usia tua, 'kan? Aku bahkan berpikir untuk bekerja di luar negeri, mabuk- mabukan, atau punya sex friend nanti di usia segitu, mengingat pacaran itu begitu merepotkan.

"Din. Please... kamu selalu minta putus setiap kali kita ngomongin Andre. So please ... Aku minta maaf soal Tina, aku memang tidak memahami kegundahan hatimu, tapi waktu itu kita memang lagi putus dan kamu yang minta putus!"

Ah ... kalau yang ini Karl, kakak laki-lakiku. Seperti aku yang dipaksa mama untuk pulang demi Erin, Karl juga. Karl, kakak laki-laki kebanggaanku. Dia ganteng, lucu, manis, romantis, dan digilai cewek-cewek. Sampai kira-kira sebulan lalu, pacarnya masih seorang cewek semi-nerd bernama Teri. Setelah Teri, sepertinya aku masih agak bingung dia jalan dengan siapa. Kadang dia menyebut nama Danna, kadang kudengar dia memanggil nama Tina.

"Dengar, aku bukan mainanmu, please, sekali lagi kamu minta putus gara- gara kamu masih terbayang-bayang Andre, aku nggak akan mengajukan banding lagi."

Karl memutus pembicaraannya di telepon dengan kesal, tubuhnya dia hempaskan di sofa, tepat di sampingku. Seolah baru menyadari bahwa dia tidak sendiri, pada detik kedua dia melihatku, tangan kirinya yang tidak memegang ponsel mengelus kepalaku.

"Kapan datang?" tanyanya.

"Sejam lalu," jawabku singkat, menawarkan toples penuh keripik apel. Karl mengernyit dan menggeleng.

"Erin kenapa lagi, sih?" sungutnya. "Sinting ya dia nyuruh orang pulang di tengah-tengah musim ujian gini? Mama juga nih semua kegilaan dia di-iya-in aja."

Oh ... aku tidak bisa lebih setuju lagi daripada itu. Kuteruskan mengunyah keripik tanpa menanggapi apa-apa, kalau Erin mendengar pendapat negatifku tentang dia, bisa runyam semuanya.

"Ngek!" panggil Karl.

Namaku Bunga, tapi semua orang di rumah memanggil dengan sebutan 'Ungek'.

"Bikinin kopi!" perintahnya.

Aku menurut. Tanpa bicara banyak, kuletakkan toples dari pangkuanku ke meja, dan menuju dapur.

Karl selalu minum kopi dengan susu, bukan krim, kalau dia tidak sedang minum bir. Di rumah, tentu saja, dia tidak minum alkohol. Aku adalah partner in crime-nya sejak kecil, aku tahu hampir semua rahasianya. Setelah kami bertiga meninggalkan rumah untuk kuliah di kota yang berbeda, aku masih menurut padanya seperti adik yang jinak pada umumnya, saat kami berkumpul di rumah.

Di dapur, Mama sedang menghias cup cake, dan Erin sibuk sendiri dengan jam tangan yang membelit pergelangannya. Saat aku masuk ke sana, dia tersenyum. Senyum seseorang yang habis memenangkan lotre, senyum sombong dan tengik.

Aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya.

"Bikinkan kopi buat abangmu dong, Sayang ...," kata Mama. "Seduhkan teh juga buat Papah ya?" tambahnya.

Aku tidak menjawab, tapi mengerjakan sesuai perintah.

"Ngek pacarmu siapa sekarang?" tanya Erin saat aku berdiri di sampingnya, menuang air panas dari dispenser ke cangkir kopi Karl.

"Nggak ada." Aku berbohong. Kebohonganku membuat senyum Erin mengembang makin lebar, seperti gulali yang direntangkan.

"Nggak nyari, Ngek?" selidiknya lagi.

"Ngapain. Kayak nggak ada umur aja. Masih muda ini ribet banget pake nyari-nyari," jawabku sekenanya.

Senyum Erin menghilang, berganti dengan decapan malas. Kemudian sambil kuselesaikan seduhan tehku untuk Papa, dia mulai mengoceh soal Bram. Ya. Bram, pria yang membuat kami semua dipaksa pulang. Pria yang katanya serius mau menikahi Erin.

KEDAI [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang