KEDAI 4. My Father's Eyes

3.8K 377 85
                                    

Sudah lama sejak Andre terakhir kali bertegur sapa dengan sang ayah.

Laki-laki tua yang menyebabkan ibunya menderita bertahun-tahun, dan tiba-tiba kembali saat wanita cantik itu meninggal dunia. Mendadak ia hadir, mengutarakan niatnya menjaga rumah yang ditinggalkan Andre karena harus bekerja di kota. Tanpa persetujuan, ia tahu-tahu sudah menempati lagi kamarnya, menduduki kursi goyangnya, minum dari cangkir yang dulu pernah ditinggalkannya, dan menyulap halaman sempit di depan rumah menjadi kebun bunga.

Andre kesal bukan kepalang. Halaman mereka yang sempit karena tinggal di hunian padat, menjadi semakin tidak menyisakan ruang untuk bergerak.

"Kapan Ayah akan berhenti?" tanya Andre gusar pada satu akhir pekan saat ia pulang ke rumah. Sudah 6 bulan ini ia mendapat jatah libur saat weekend, yang merupakan suatu keberuntungan besar bagi seorang bartender, sebab Sabtu biasanya merupakan hari yang sangat sibuk.

Laki-laki renta itu tengah membungkuk membelakangi Andre. Ketika telinganya mendengar Andre berbicara langsung—bukan lewat perantara pembantu yang dibayar oleh anak laki-lakinya itu untuk menyiapkan makanan dan mengurus keperluannya—padanya, senyum laki-laki itu mengembang lebar. Tangannya yang mulai lemah dan keriput mengangkat sebuah pot mungil yang separuhnya telah berisi pupuk kandang.

"Menurutmu ... pot ini lebih baik buat bibit apa ditanami bijih jeruk nipis, ya?" tanyanya.

Andre melenguh, menekan kesabaran, sebelum mengulang pertanyaannya sekali lagi. "Kapan Ayah mau berhenti?"

Pria yang dipanggilnya ayah itu menatap pada inti matanya.

Entah disengaja atau tidak, setiap mereka berdua bersitatap, Andre selalu kebetulan sedang membuang wajah ke arah lain.

Andre mungkin sengaja melakukannya. Ia begitu enggan memaafkan. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, Andre merasa takut. Ia takut akan luluh, dan menerima kembali kehadiran sang ayah seutuhnya jika ia membalas tatapan itu. Sebab, pernah suatu kali ia berjanji untuk menghapus nama ayah dari catatan hatinya.

Setelah meletakkan pot bunga di tangannya kembali ke tanah, dan melepas plastic gloves, pria tua itu bertanya. "Kamu nggak suka tanaman ya, Nak?"

Andre memejamkan mata. Sesak hatinya dipanggil dengan sebutan itu.

"Duduklah sini sama Ayah...,"ajak sang ayah sambil berjalan perlahan menuju sebuah bangku, yang sejak berdirinya rumah itu sudah seperti menyatu menjadi bagian dari teras.

Andre menolak dengan gelengan tegas. Sambil melipat lengan di dada, ia memindai halaman sempit yang permukaan tanahnya mulai menghilang ditelan lautan tanaman dan bunga.

Bukannya tidak suka dengan tanaman, Andre justru sangat menyukainya.

Dulu, bersama Mamanya, mereka sangat gemar berkebun. Berkebun membuat mereka berdua lupa waktu. Lupa waktu berarti mempersempit kemungkinan mengingat sakit hati terhadap laki-laki tua yang tiba-tiba muncul kembali, dan menuduhnya tidak suka tanaman hari ini.

Tapi dulu mereka tidak berlebihan seperti ini. Mereka menanam sebatas di halaman depan saja. Mamanya masih menyisakan ruang untuk sebuah ayunan yang digantung di ranting pohon mangga tua, juga sebuah bangku panjang di mana wanita itu senang menghabiskan waktu duduk-duduk melepas sore, sambil menyelesaikan sulamannya.

"Mamamu sering bilang bahwa kamu suka berkebun."

Andre tak sadar sudah mendengus cukup keras saat mendengar kalimat itu.

"Masalahnya bukan aku tidak suka dengan tanaman. Masalahnya Ayah sudah keterlaluan," katanya pelan, tapi tajam. "Teras rumah ini sudah kehabisan ruang untuk bergerak. Ayah membuat rumah ini terlihat seperti hutan."

KEDAI [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang