Air mataku tumpah melihat dua insan saling bertukar cincin usai kata sah terucap lantang beberapa saat yang lalu dari para saksi. Kakiku mati rasa menyaksikan kejadian barusan, nyeri di hati menyelusup hingga membuat dadaku sesak seakan ada beban berton-ton yang menghimpit paru-paru.
"Mas," panggilku lirih menahan isak tangis dan nyeri di hati.
"Dek A-Aira ...."
Wajah Mas Abid berubah tegang seketika melihat kehadiranku di acara pernikahannya. Air muka laki-laki berstatus suamiku itu tak henti-hentinya menampilkan keterkejutan. Mas Abid ... tega kamu Mas menikah di belakangku.
Terdengar bisikan dari mulut tamu undangan dengan berbagai ekspresi mereka melihat kehadiranku, mungkin ada yang merasa iba. Andai saja.
Aku berdiri mematung tak jauh darinya.
"Dek Ai ... mas ...."
Mas Abid seakan bingung hendak berucap apa, ia sesekali melirik tak enak para tamu undangan. Aku melirik tajam ke arah wanita bercadar putih yang duduk tepat di samping Mas Abid. Ia menunduk sembari menautkan kedua jari-jari tangannya.
Tak ingin berlama-lama mempermalukan diri di hadapan banyak orang, aku memilih pergi berlari keluar dari masjid.
Kupacu mobil dengan kecepatan tak biasanya. Hatiku hancur menerima kenyataan Mas Abid menikah tanpa izinku. Tega kamu Mas ... bahkan ia tidak mengejarku ketika keluar masjid tadi. Kamu jahat Mas! kamu lebih memilih tetap duduk di sana dan melanjutkan acara pernikahanmu ketimbang mengejarku.
Sesampainya di rumah aku masuk ke kamar dan mengunci diri di dalamnya. Menangis sejadi-jadinya di bawah bantal, menumpahkan segala kekecewaan dan rasa sakit.
"Kamu jahat, mas! Aku benci kamu, mas!" Sesekali aku memukul bantal sebagai pelampiasan ngilu di hati.
Usia pernikahanku dan Mas Abid masih terbilang muda memasuki tahun ke-7. Dulu sebelum menikah aku sering pergi keberbagai kajian-kajian di masjid, di sanalah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Mas Abid. Kami saling dikenalkan oleh Nafi--temanku--sepupu dari Mas Abid.
Setelah beberapa kali tak sengaja bertemu di masjid sepulang atau sebelum kajian, Mas Abid menyampaikan niatnya untuk ta'aruf denganku melalui Nafi. Proses ta'aruf kami berjalan selama tiga bulan, setelah yakin dan saling mengenalkan keluarga masing-masing, kami menikah dengan mahar seperangkat alat shalat dan surah Ar-Rahman. Aku tak ingin menyusahkan Mas Abid dengan meminta mahar yang memberatkan dirinya.
__Teteh El__
Dulu Mas Abid hanya seorang penjual kurma, ia memiliki warung yang terbilang kecil di depan rumah. Di awal pernikahan, kami mengalami kesulitan ekonomi, masih kuingat dulu kami pernah berbuka puasa hanya dengan segelas air putih dan kurma dagangan Mas Abid.
"Maafkan mas ya, Dek Ai." Tanpa diundang air mata Mas Abid meleleh. Kami tengah duduk bersila beralaskan tikar pandan. Berbuka puasa bersama.
"Mas ... kenapa menangis dan meminta maaf?"
Tak disangka-sangka Mas Abid terisak, menekan kedua matanya menggunakan ibu jari dan telunjuk tangannya. Aku beringsut mendekati Mas Abid dan memeluknya sayang. Beberapa saat isak tangis Mas Abid berhenti dan aku pun melepaskan pelukanku darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepahit Empedu
RomanceAira Puspita harus menelan pahitnya kenyataan hidup. Abid Robani--suaminya, laki-laki yang ia cintai, yang selalu ia dampingi semenjak nol ternyata menikahi seorang gadis bercadar tanpa sepengetahuannya. Akankah ia mampu bertahan hidup satu atap ber...