Part7
Rumah terlihat bersih ketika aku menuruni anak tangga, Aini mengerjakan tugasnya dengan cukup memuaskan. Sekarang jam menunjukan pukul 15:30 WIB, sebentar lagi Mas Abid pulang.
Kulangkahkan kaki menuju dapur, piring kotor yang sebelumnya bertumpuk di wastafel telah lenyap tak tersisa.
Kubuka lemari es, mengeluarkan masakan yang kubuat pagi tadi. Aku berniat ingin memanaskannya--udang asam manis.
Aini melemparkan tatapan menusuk kepadaku ketika ia melewati dapur sembari membawa sapu pel ditangannya. Aku tersenyum miring lalu kembali melanjutkan kegiatan menggoreng ikan yang tengah kutekuni. Puas rasanya melihat wajah tertekuk parasit itu.
Usai memasak, aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak butuh waktu lama, sekitar dua puluh menit aku selesai dengan rutinitas mandi dan telah mengenakan pakaian santai yang kupunya.
Handphone-ku berdering, kuraih gawai dari atas nakas. Tertera nama Mas Zafir di layar, tumben sekali ia menelponku.
Kugulir ke atas tombol hijau di layar.
“Airaaa ....” Suara memekik seorang wanita membuatku harus menjauhkan handphone dari telingaku.
“Hallo, Ai.”
“Eh, iya. Assalamu’alaikum,” jawabku.
“Wa’alaikumussalam.” Dia terkekeh.
“Ini mbak Laila, Ai. Mbak pinjem handphone Zafir untuk menelponmu.”
“Masyaa Allah, apa kabar, Mbak?” tanyaku.
“Mbak sehat, Ai. Kamu keterlaluan, Ai, sudah berapa lama gak pernah berkunjung kemari lagi? Semenjak menikah, kamu udah jarang sekali main ke rumah mbak. Saat kamu pulang ke rumah pak Bram pun, kamu gak singgah ke rumah mbak.”
Aku tersenyum tipis.
“Maafkan Aira ya, Mbak. In Syaa Allah secepatnya, Ai main lagi ke rumah Mbak.”
“Mbak tunggu loh, Ai. Oh ya, barang pesanan Zafir udah datang, Ai.”
“Alhamdulillah ... kalau barangnya sudah sampai, Mbak. Jangan kapok pesan barang di butik Ai lagi ya, Mbak.”
Mbak Laila tertawa renyah di ujung telpon.
“Gak kapok. Nanti Mbak pesan lagi di butikmu, Ai.”
“Wah, alhamdulillah.”
“Pokoknya kamu harus main ke rumah Mbak secepatnya.”
“In Syaa Allah, Mbak.”
“Mbak tunggu, Ai. Awas aja kalau gak datang,” ancamnya. Aku terkekeh geli.
“Sip, Mbak.”
“Ya sudah, Mbak tutup dulu telponnya ya, Ai. Mbak mau bongkar barang. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Tut ...
Telpon terputus, kuletakkan kembali smartphone ke atas nakas. Bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka, Mas Abid melangkah masuk ke dalam.
Sejak kapan ia telah pulang ke rumah? aku sama sekali tak mendengar deru mobilnya memasuki perkarangan.
Laki-laki berperawakan tinggi itu berdiri tegap di tengah ruangan, menatapku dengan tatapan yang ... entahlah.
“Mas, sudah pulang,” ucapku sembari beranjak mendekatinya.
“Dek, kamu ....” Mas Abid tak melanjutkan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepahit Empedu
RomansaAira Puspita harus menelan pahitnya kenyataan hidup. Abid Robani--suaminya, laki-laki yang ia cintai, yang selalu ia dampingi semenjak nol ternyata menikahi seorang gadis bercadar tanpa sepengetahuannya. Akankah ia mampu bertahan hidup satu atap ber...