Pintu itu terbuka, Mas Abid melangkah masuk ke dalam kamar. Ia duduk di sampingku di atas kasur. Beberapa saat hanya ada keheningan yang menyelimuti, bibir Mas Abid terkatup rapat. Sama halnya denganku, aku seakan kehilangan selera untuk berbicara.
“Makanannya tadi kenapa gak dihabisin?” tanyanya memecahkan keheningan.
“Masakan mas gak enak ya, Dek?”
Diam.
“Adek masih lapar? Mas pesenin lewat deliver order, ya.”
“Dek Ai, mau makan apa?”
Tetap diam.
“Mas pesenin rendang, ya. Makanan kesukaan Adek.”
“Gak,” sahutku dingin.
“Jadi, Dek Ai mau makan apa?”
“Ai, gak lapar.”
Mas Abid terdiam. Dari sudut mata kulihat ia menatapku lekat. Perlahan, Mas Abid membaringkan kepalanya ke pangkuanku. Laki-laki pemilik lesung pipi itu memeluk erat pinggangku, menelusupkan wajahnya ke perutku.
“Dek ....”
“Dek Ai.”
“Sayang.”
Tak ada minat untuk membuka suara barang sedikit pun.
Mas Abid melepaskan pergelangan tangannya dari pinggangku, meraih tanganku, kemudian menciumnya berkali-kali.
“Dek ....” Ia membelai pipiku. Aku menunduk menatap wajahnya. Pria bermata teduh itu tersenyum penuh arti.
“Mas rindu,” ucapnya pelan. Lekas aku kembali menegakkan kepala, membuang muka darinya.
Mas Abid bangun dari pangkuanku, membingkai wajahku menggunakan kedua telapak tangannya. Mau tak mau, aku harus menatap manik mata milik Mas Abid. Mata itu berkabut, sebagai istri tentu saja aku tau arti dari tatapannya.
Perlahan ia mendaratkan kecupan di keningku dengan lembut, aku diam. Kemudian beralih mencium pipiku, masih tetap diam. Di saat Mas Abid hendak mendaratkan bibirnya ke bibirku, aku berpaling cepat.
Menerima penolakanku, perlahan ia memberi jarak di antara wajah kami, menatapku dengan tatapan bingung.
Entah kenapa hatiku seakan tak sudi disentuh olehnya.
Ya Allah ... ampuni hamba.
Pelan Mas Abid kembali meraih tanganku, meremasnya pelan. Jantungku bertalu-talu dahsyat. Cepat kusentak genggaman Mas Abid, kemudian beringsut sedikit menjauh darinya. Mimik wajah itu penuh dengan keterkejutan, sorotnya menatapku dengan tajam.
“Ai, gak mau, Mas,” ujarku.
“Adek menolak ajakan, mas?”
Mas Abid kembali mendekat, membuat dadaku berdebar tak karuan. Ia memelukku dari samping. Kudorong tubuhnya dengan sekuat tenaga, rengkuhannya terlepas.
“Ai gak mau, Mas. Jangan paksa Ai!" ucapku menekankan.
Entahlah ... aku tau sikapku ini dosa. Tapi, sungguh aku tak sanggup melayani Mas Abid untuk sekarang, hatiku masih teramat sangat sakit. Lebam membiru.
“Adek ‘kan sedang gak haid. Tadi shalat, kan?”
“Dek Ai ‘kan tau, jika seorang istri menolak ajakan suaminya tanpa ada alasan yang jelas. Maka malaikat akan mengutuknya hingga pagi hari,” terangnya.
“Maaf, Mas. Ai gak bisa.”
Mas Abid berusaha meraih pergelangan tanganku. Aku menepisnya dan semakin beringsut menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepahit Empedu
RomansaAira Puspita harus menelan pahitnya kenyataan hidup. Abid Robani--suaminya, laki-laki yang ia cintai, yang selalu ia dampingi semenjak nol ternyata menikahi seorang gadis bercadar tanpa sepengetahuannya. Akankah ia mampu bertahan hidup satu atap ber...