Part8
Kuraih koper, memindahkan berbagai pakaian dari dalam lemari tanpa mengemasnya dengan benar. Pintu kamar terbuka, dari sudut mata dapat kulihat Mas Abid melangkah mendekat.
“Mau ke mana kamu?”
Tak memperdulikan suara bariton itu, aku semakin gegas memasukan baju ke dalam koper, lalu menutupnya. Berlalu melewati Mas Abid tanpa sedikit pun melirik ke arahnya.
“Dek Aira ....” Mas Abid mencekal pergelangan tanganku.
“Adek mau ke mana?”
“Bukan urusanmu, Mas.” Kusentak kasar cekalan Mas Abid, lalu kembali mengayunkan kaki.
“Berhenti, Dek!” Ia terus saja membuntutiku menuruni anak tangga. Kembali Mas Abid mencekal pergelangan tanganku, aku berhenti tanpa menoleh ke arahnya.
“Adek mau ke mana?”
“Pulang, ke rumah bapak,” sahutku ketus sembari melanjutkan langkah kaki.
“Mas gak beri izin!" ucapnya.
Tak kuidahkan panggilan dan larangan darinya.
Di ruang tamu, Aini berdiri tegap dengan senyuman sinis menghiasi bibirnya. Rasa benciku padanya semakin menggebu-gebu, kuberikan tatapan nyalang padanya.
Astagfirullah ... setan bersorak ria mengetahui hatiku telah penuh dengan rasa benci terhadap orang lain.
“Dek Aira, berhenti!” Baru saja kaki ini menginjak teras rumah, Mas Abid memelukku dari belakang.
“Plis ... jangan pergi, Dek. Mas minta maaf,” pintanya.
Aku melengos, melerai paksa rengkuhan Mas Abid.
“Maaf terus yang kamu ucapkan, Mas. Gak guna. Basi!”
“Selangkah saja Adek berani meninggalkan rumah ini, mas gak ridho!” ucapnya tegas, berhasil menghentikan langkahku.
Ternyata Mas Abid masih mengagungkan posisinya sebagai suami, Aku berbalik menatapnya, lalu tersenyum mengejek.
Tanpa kata, aku kembali melangkah menuju mobil yang terparkir di perkarangan rumah. Setelah rasa sakit yang ia torehkan apa aku mau mengidahkan larangan darinya. Ouw ... tentu saja tidak, Mas. Aku lelah ... hatiku remuk. Ya Allah ... semoga Engkau mengampuniku.
“Dek Aira, Dek ... jangan pergi, Dek!" pekiknya sembari menggedor-gedor jendela mobilku.
__Teteh El__
Pancaran jingga di ufuk barat menemani perjalananku menuju rumah Bapak. Sekawanan burung mulai pulang ke peraduannya, angin senja menyapa hangat berbagai tumbuhan di tepian jalan.
Jarak tempuh dari rumah Mas Abid ke rumah Bapak membutuhkan waktu kisaran dua jam perjalanan.
Sayup-sayup kudengar suara kumandang adzan magrib. Hatiku terenyuh mendapatkan panggilan shalat dari Sang Khaliq, di saat pikiran tengah gundah gulana, tempat terbaik untuk mengadu adalah hanya kepada-Nya, bersimpuh harap di setiap sujud.
Aku tau Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar dari kemampuannya. Dari Firman Allah dalam QS. Al-baqarah: 286.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya ...”
Aku percaya, tapi tetap saja hatiku sakit menjalankan ini semua.
‘Hidup adalah ujian, Aira. Menguji adalah cara Allah menyayangi. La Tahzan Iinnallaha Ma’ana jangan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepahit Empedu
RomanceAira Puspita harus menelan pahitnya kenyataan hidup. Abid Robani--suaminya, laki-laki yang ia cintai, yang selalu ia dampingi semenjak nol ternyata menikahi seorang gadis bercadar tanpa sepengetahuannya. Akankah ia mampu bertahan hidup satu atap ber...