Part4
Emosiku tersulut ketika melihat Mas Abid menggenggam tangan Aini, membawa gadis itu untuk mendekat.
“Mas! Kenapa kamu bawa gadis ini ke tokoku, Mas!” ucapku lantang.
Mas Abid terkesiap, untuk pertama kalinya aku berbicara sekeras ini padanya. Jantungku berdentum sesaat setelah menyadari betapa nyaringnya aku berucap.
“Astaghfirullahal’adzim," lirihku berkali-kali.
Aku kembali duduk sembari mengurut dada, berusaha meredam segala gejolak amarah.
“Dek Ai, mas hanya mencoba memperkenalkan Aini kepada seluruh pekerja mas dan pekerja di toko Adek. Kenapa Adek begitu sangat marah dengan kedatang Aini, kemari?” Mas Abid duduk disampingku, meremas jemariku dengan lembut.
Kenapa harus marah katanya?
Aku menoleh, jadi Mas Abid sudah mempublikasikan istri barunya. Hebat!
Kutepis genggaman Mas Abid.
“Saya minta maaf jika kedatangan saya membuat Mbak tersulut emosi. Saya gak bermak--”
“Diam, kamu!” Aku memotong ucapan Aini. Dia berdiri terpaku di samping Mas Abid.
“Dek, kamu enggak sopan! Aini hanya berusaha minta maaf. Di mana Dek Aira yang penuh dengan kelembutan.”
Perih ...
Hatiku berdenyut sakit mendengar pembelaan Mas Abid untuk adik maduku. Bulir bening berdesakan di pelupuk mata, aku tak kuat. Air mataku akhirnya tumpah.
Mas Abid menyeka cairan itu dari pipiku menggunakan ibu jarinya. Kutatap lamat-lamat mata Mas Abid. Dia menggeleng pelan, wajah sendunya membuatku tak tahan untuk terus menggulirkan air mata.
“Jangan menangis. Mas minta maaf, Dek Ai,“ lirihnya lalu membawa kepalaku ke dalam dekapan hangatnya. Mas Abid mengusap lembut punggungku, berusaha memberikan ketenangan. Beberapa saat kemudian ia melepaskan pelukan, menatapku dengan lembut.
“Udah tenang?”
Diam.
“Maafkan mas ya, Dek Ai. Jika, ucapan mas menyakiti hati Adek.”
Tetap diam.
“Yuk, kita makan siang bertiga.”
Aku menggeleng, menunduk tak berani menatap wajah Mas Abid. Tak tau ‘kah kamu, Mas ... hatiku sakit setiap kali melihatmu bersisian dengan Aini.
“Saya gak tau salah saya apa dengan, Mbak Aira. Mbak menangis hanya karena kedatangan saya ke toko. Gak papa jika, Mbak sangat membenci saya, dan tak menerima kehadiran saya.” Suara adik maduku itu terdengar bergetar.
Aku mencibir, muak!
Drama!
“Saya permisi.” Dia berlari menjauh keluar pintu, pergi saja sana! Tak usah kembali. Dasar ratu drama!
“Dek Aini, tunggu, Dek ....”
Mas Abid berdiri bersiap untuk mengejar. Namun, kemudian ia berhenti mematung di tengah ruangan. Ia menoleh ke arahku, lalu beralih melihat pintu. Raut wajahnya dipenuhi dengan kebimbangan.
Aku diam, membiarkan dia berpikir dan memilih siapa yang akan ia hibur.
Tak butuh waktu lama, Mas Abid kemudian berlari ke luar, meninggalkanku, sendirian bersama sayatan mendalam darinya. Air mataku kembali bergulir melihat kepergiannya.
__Teteh El__
Kuletakan Qur’an ke atas nakas setelah beberapa saat membacanya. Melipat mukena lalu meletakannya ke dalam lemari di sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepahit Empedu
Storie d'amoreAira Puspita harus menelan pahitnya kenyataan hidup. Abid Robani--suaminya, laki-laki yang ia cintai, yang selalu ia dampingi semenjak nol ternyata menikahi seorang gadis bercadar tanpa sepengetahuannya. Akankah ia mampu bertahan hidup satu atap ber...