Part 2

381 33 2
                                    

Part2

Beberapa kali kurasakan belaian lembut di pipi  dan sapuan angin di kedua kelopak mataku yang tertutup.

Penglihatan pertama yang kudapati ialah wajah tersenyum Mas Abid. Seperti biasa, ia membangunkanku dengan cara meniupkan angin ke mataku.

“Bangun, Sayang ....”

Lesung pipi Mas Abid tercetak jelas di sana. Wajah teduh, senyuman manis dengan sorot mata penuh cinta dari Mas Abid merupakan pemandangan setiap pagi yang kudapati selama menikah dengannya.

Kepalaku kembali berdenyut ketika aku berusaha duduk.

Mas Abid membelai rambutku menyelipkannya di sela dau telinga.
Aku diam  sejenak, mengumpulkan keping-kepingan nyawa yang tertinggal sembari melafazkan doa bangun tidur.

Jam berapa sekarang?

“Ayo, Sayang. Segera ambil wudhu, jam sudah memasuki waktu shalat subuh,” ucapnya.

Kutatap wajah Mas Abid, pria itu tengah duduk di tepi ranjang sambil tersenyum manis. Hatiku tiba-tiba berdenyut sakit, nyeri sekali ... cairan bening berhasil lolos dari pelupuk mata.

“Dek ... tidak, Dek. Plis, jangan menangis lagi,” lirihnya menggelengkan kepala sembari menghapus lembut air mataku menggunakan kedua telapak tangannya.

“Hati mas sakit setiap kali melihatmu menangis, Dek."

Diam, aku tetap bergeming. Menatap suamiku dengan sorot penuh luka. Membiarkan dia menghapus setiap bulir bening di pipiku.

Aku menunduk, memutus bersitatap dengannya, entah kenapa air mataku akan kembali meluncur setiap menatap manik teduh milik Mas Abid.

Di sudut hatiku yang lain merasa lega karena rambut Mas Abid kering tanpa sentuhan air, itu berarti dia tidak keramas. Dan itu pertanda Mas Abid tidak junub dan belum menyentuh istri barunya di malam pertama mereka.

“Kita shalat berjamaah bertiga, Dek. Ayo ambil wudhu.”

Bertiga?

Aku menoleh ke arah Mas Abid, ia tersenyum lembut. Maksudnya bertiga, shalat bersama dengan adik maduku?

“Ai gak mau,” ucapku tanpa menatapnya.

“Adek tau? Diriwayatkan oleh Imam Bhukhari-Muslim bahwa shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian. Mas  terlambat ke masjid, jadi alangkah baiknya kita shalat berjamaah bertiga, in Syaa Allah pahalanya akan tetap lebih utama dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian.”

Seperti biasa Mas Abid akan memberi nasihat dan ilmunya kepadaku. Aku tau semua itu Mas, aku tau keutamaan shalat berjamaah.  Hatiku hanya belum bisa ikhlas menerima gadis itu sebagai adik madu, membagimu bersama dirinya. Rasanya sakit sekali, sakit. Hingga aku berharap ini semua hanya mimpi.

“Ai tau. Tapi tetap saja Ai gak mau! Silahkan Mas shalat berjamaah dengan istri baru shalihah Mas itu.”

Aku segera beranjak dari kasur dan  melangkah menuju kamar mandi.

Mas Abid diam tak menyahut, ia terpaku melihatku berlalu meninggalkannya. Tak ada lagi ucapan selamat pagi dari mulutku untuknya seperti dulu, tak ada lagi belaian sayang dan kecupan manis dariku setiap pagi.

Aku sakit, kecewa, dan marah padanya.

Di dalam kamar mandi aku kembali menangis, terisak-isak kecil. Dadaku sesak sekali . .. kuremas baju di dada berharap sakit itu berkurang. Ya Allah ... hamba gak sanggup Ya Rabb ....

“Astaghfirullahal’adzim ...,” lirihku berkali-kali. Lalu, sesegera mungkin membasuh wajah, mengambil air wudhu.

Langkahku terhenti di ambang pintu kamar mandi, malihat Mas Abid tetap duduk terpaku di tepat yang  sama.

Sepahit EmpeduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang