Bahagia yang Terenggut

1.7K 125 0
                                    

Dengan berat hati, Yanti pun membiarkan anaknya dibawa pulang oleh ibu dan adiknya.

Ia tahu, maksud ibunya tentu baik. Agar Yanti bisa fokus merawat suaminya yang sedang sakit, juga agar ia tak terlalu kelelahan mengurus segala sesuatunya sendirian.

Malam ini, hanya Yanti berdua suaminya yang tinggal di rumah mereka. Ipul sudah tertidur sejak satu jam yang lalu setelah minum obat.

Setelah berbalas pesan dengan Wiwin untuk mengetahui kabar Riska anaknya, Yanti memutuskan untuk menyusul suaminya itu ke peraduan.

Sempat diliriknya jam yang tergantung di dinding kamar mereka yang dicat warna putih. Pukul 22.30.

Ia pun mengambil tempat di sisi suaminya dan merebahkan diri.

Tak seperti biasanya, udara terasa gerah padahal sedang musim penghujan. Tapi karena lelah yang membalut tubuhnya, Yanti pun akhirnya terlelap.

"Ughh ... ughh ... ughhh!"

Yanti tersentak dan langsung terbangun. Ditolehnya suaminya yang bergerak-gerak gelisah namun matanya tetap terpejam.

"Bang..., bangun, Bang!" Yanti mengguncang tubuh suaminya dengan perasaan takut.

"Ughh, pergi! Jangan, aku tak mau ikut denganmu...." mulut Ipul masih terus menceracau.

"Ya Allah Bang, ada apa denganmu? Ya Allah, astaghfirullah..." suara tangis Yanti terdengar tertahan.

Melalui telapak tangannya, Yanti merasakan tubuh dahi suaminya terasa panas. Peluh justru mengucur deras di dahi dan lehernya.

Yanti pun berinisiatif untuk menelepon bapak mertuanya. Ia merasa harus mengabarkan kepada orang tua suaminya itu perihal keadaan Ipul yang kini mengkhawatirkan.

"Assalamualaikum, Pak." Yanti berbicara begitu telepon tersambung.

"Waalaikumsalam, Yan. Ada apa telepon tengah malam begini, Nak?" sambut bapak Ipul.

"Pak..., Bang Ipul, sakit...!" Tersendat-sendat suara Yanti menyampaikan kabar pada bapak mertuanya itu.

Di seberang sana, bapak Ipul yang mendapat kabar tak enak tersebut pun terhenyak kaget. Kantuk yang tadi menggayuti, seketika hilang.

"Sakit? Sakit apa Ipul, Yan?" Pak Wardi bertanya.

"Yanti nggak tahu, Pak. Tapi sudah tiga hari ini Bang Ipul sakit kepala hebat. Sudah dua kali Yanti bawa berobat juga, tapi malam ini Bang Ipul bertingkah aneh. Tolong Yanti, Pak...! Huhu ... huhu ..."

"Ya Allah, tenang dulu, ya. Baik, Bapak akan ke rumah kalian sekarang juga."

Pak Wardi beringsut dari duduknya. Kakinya diturunkan ke lantai. Ia hendak ke kamar Firdaus, anak bungsunya di kamar sebelah.

"Ada apa, Pak? Siapa yang telepon?" Bu Ros bertanya setengah mengantuk.

"Yanti telepon. Ipul sakit katanya. Bapak mau minta antar Daus ke rumah mereka dulu."

Pak Wardi segera keluar kamar begitu selesai menjelaskan pada istrinya. Giliran Bu Ros yang tersengat kaget.

Mendengar kabar anaknya jatuh sakit, tenggorokan Bu Ros serasa tercekat.

Apa ini akibat perbuatan mereka pada saat acara syukuran pindah rumah berlangsung?

Apakah Ki Jomblo, dukun yang konon katanya sakti tanpa tanding itu salah sasaran dalam tugasnya?

Rasa dingin menjalari punggungnya, begitu juga kedua tangan serta kakinya.

Lidahnya pahit, sementara jantungnya berdegup cepat bagai genderang yang bertalu-talu ...

Ia ikut beringsut turun dari ranjang dan menyusul suaminya keluar kamar.

"Daus, antar Bapak ke rumah Abangmu sekarang. Kakak iparmu tadi telepon, Abangmu sedang sakit katanya."

Firdaus yang kebetulan belum tertidur, segera mengiyakan ajakan bapaknya. Keduanya berjalan tergesa menuju pintu. Daus meraih helm dan kunci motor di atas lemari sepatu.

"Pak, tunggu! Ibu bagaimana?" Bu Ros kebingungan di tengah rasa takutnya.

"Ibu di rumah saja. Nanti kami kabari kalau sudah tau jelas keadaan Ipul." Pak Wardi menyahut sebelum menghilang di balik pintu yang ditutup.

Tinggallah Bu Ros sendirian. Ia mondar-mandir berkali-kali bagai setrika, sambil berpikir keras. Ia pun akhirnya memutuskan untuk menelepon Ratna saja.

Gadis itu, sejak awal idenya untuk pergi ke dukun, sebenarnya tak begitu disambut oleh Bu Ros.

Tapi dia memaksa, dan kini Bu Ros dihantui ketakutan karena ia selalu cemas.

"Ratna? Ayo ke rumah Ipul sekarang. Tadi istrinya telepon Bapak, katanya Ipul sakit." Bu Ros langsung bicara begitu telepon diangkat oleh Ratna.

Tak sampai dua puluh menit, suara klakson mobil terdengar di luar rumah. Itu pasti Ratna, pikir Bu Ros. Wanita baya itu buru-buru keluar untuk segera menghampiri perawan tua yang berambisi menjadi istri Ipul tersebut.

"Ratna, kenapa jadi Ipul yang sakit?" Bu Ros berkata, lebih tepatnya protes, saat ia sudah duduk di sebelah Ratna dalam mobil gadis itu.

"Kebetulan saja mungkin, Tante. Hooaamm ..." jawab Ratna sembari menguap.

Tampaknya ia sudah tertidur ketika Bu Ros meneleponnya tadi. "Feeling Tante kok dukunmu itu salah ngerjain orang, deh!" bantah Bu Ros.

"Maksud Tante? Salah ngerjain bagaimana?"

"Ya kan yang kita mau celakain tuh si Yanti, tapi yang sakit kok malah Ipul?" Bu Ros tak dapat menyembunyikan rasa cemas pada nada suaranya.

Ratna menghembus napas, ia sedikit jengkel pada tingkah Bu Ros yang dianggapnya berlebihan itu.

"Tante, Ki Jomblo itu dukun berpengalaman. Bukan dukun kaleng-kaleng. Sudahlah, jangan berlebihan. Kita lihat dulu kondisi Bang Ipul." Ia berucap sambil melempar tatapan kesal.

Bu Ros pun terdiam. Ia yang biasa bagai macan betina, kini tak ubahnya tikus got baru kecemplung di hadapan Ratna. Ia takut pada gadis yang siang malam diimpikannya bakal jadi mantu itu.

Sementara di tempat yang berbeda, Yanti terus menangisi keadaan suaminya. Tangannya tak mau lepas dari menggenggam tangan milik Ipul yang terasa dingin.

"Ya Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Kenapa ia jadi begini? Jangan ambil suamiku dulu ya Allah, jangan renggut kebahagiaan yang baru mulai kami cecap ini..." lirih Yanti di antara derai air mata yang mengalir deras.

***

KUPULANGKAN SUAMIKU PADA IBUNYA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang