Part 3 ~ Familyzone?

443 36 4
                                    

"Rin, Rea mana?" Aku menoleh ke pintu depan ketika mendengar suara Kak Vano yang terdengar samar. Sepertinya Kak Vano bicara sembari berbisik pada Kak She. Tapi kenapa harus berbisik?

Aku kembali memusatkan perhatian pada televisi. Aku takut kalau aku bisa saja menggagalkan rencana yang mau mereka buat. Walaupun aku tidak tahu kejutan apa yang mau mereka lakukan. Sebaiknya aku diam sajalah.

"Re!" Aku terlonjak kaget ketika Kak She tiba-tiba berteriak di sampingku. "Re, bantuin gue! Vano pingsan di teras!" Eh? Kak Vano pingsan?

Aku buru-buru mengikuti Kak She menuju pintu depan, tapi tiba-tiba saja Kak She berbalik arah menuju ke dalam rumah.

"Kak She mau kemana?" tanyaku kebingungan. Aku bingung antara rasa khawatir dan rasa penasaranku yang menjadi satu.

Kak She melambaikan tangannya padaku, "Gue mau manggil Daddy sama Mom buat bantuin Vano! Lo buruan bantuin dia!" teriak Kak She dengan nada panik.

Seketika seluruh tubuhku mendingin karena takut. Aku takut Kak Vano kenapa-kenapa. Setengah berlari, aku langsung menghampiri pintu depan yang tertutup. Sekali sentakan, aku membuka pintu itu.

Tapi belum sempat aku keluar, tubuhku langsung membeku di tempat saat kulihat Kak Vano berdiri di depanku dengan tangan membawa seloyang kue yang bertuliskan "Selamat ulang tahun, Rea manis." Yang ditulis dengan selai berwarna pink.

Aku terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Kak Vano mulai bernyanyi selamat ulang tahun untukku, tapi aku malah menangis dalam diam. Benar-benar memalukan.

"Kok kamu nangis, Re? Nggak suka sama kejutan Kak Vano?"

Dengan sesenggukan, aku menjawab pertanyaan Kak Vano. "Suka. Tapi Rea terharu." Jawabku.

Kak Vano tertawa lepas setelahnya, lalu dia mengacak rambutku. "Tiup dong lilinnya, keburu habis!" perintah Kak Vano dengan nada ceria.

Aku mengangguk, menghapus air mataku, lalu meniup lilin bertuliskan angka 14 tahun itu. "Makasih ya, Kak Vano." Kataku masih disertai isakan.

Tanpa terduga, tiba-tiba Kak Vano mencium keningku. Lama. Aku sampai kehabisan nafas karena menahan nafas selama Kak Vano menciumku. Ini pertama kalinya Kak Vano menciumku. Dan rasanya sungguh bahagia.

"Apapun buat kamu, Re." Jawab Kak Vano dengan senyum lebar. "Kak Vano akan melakukan apapun untuk adik kecil Kak Vano." Lalu dia mengacak rambutku lagi.

Aku terdiam. Adik kecil? Jadi Kak Vano melakukan semua ini hanya karena dia menganggapku adik kecilnya?

*

Aku tidak tahu apakah ulang tahunku kemarin itu adalah ulang tahun terbaik atau ulang tahun terburuk. Kak Vano memberikan kejutan yang membuatku bingung. Pertama dia memberikanku surprise ulang tahun, kedua Kak Vano mengatakan bahwa aku adik kecilnya.

Adik kecilnya.

Aku menghapus air mata yang mengalir di pipiku. Seharusnya aku tahu, Kak Vano tidak mungkin menyukai perempuan kaku sepertiku. Aku bukan seperti Kak She yang selalu pandai memosisikan diri. Aku hanya Rea yang kaku.

Rea yang kaku hanya cocok menjadi adik kecilnya saja, tidak cocok menjadi lebih dari itu. Tapi aku tetap berharap. Aku berharap perasaanku ini berbalas oleh Kak Vano.

"Re? Haloo?"

Aku tersentak kaget, lalu langsung meminum air putih di gelasku. Aku kaget dan gugup berhadapan dengan Kak Revan, sahabatnya Kak Vano. Aku memang sudah mengenalnya dulu, tapi entah kenapa sekarang rasanya gugup mengobrol dengannya.

"Mmm, Kak Revan mau minum?" tanyaku gugup.

Kak Revan menggeleng, lalu tersenyum tipis. "Vano hanya pergi ke supermarket, sebentar lagi juga balik. Kamu nggak usah takut begitu."

Eh?

"Kak Revan..."

Kak Revan mengangguk, "Aku tahu kamu menyukai Vano. Iya kan?" gumam Kak Revan dengan yakin.

Ah... kenapa bisa?

"Tatapanmu pada Vano itu beda, Re. Aku bisa menyadarinya langsung."

Aku menunduk, bahkan Kak Revan yang baru melihatnya beberapa kali saja langsung tahu. Tapi kenapa Kak Vano sama sekali tidak menyadari perasaanku padanya? Tapi kalau dia tahu, apakah perlakuannya padaku akan tetap sama?

"Aku rasa, dia punya perasaan yang sama."

"Hm? Masa sih?" tanyaku kaget.

Kak Revan mengangguk, "Dia hanya belum menyadarinya." Gumamnya.

Hmm kalau memang Kak Vano memang menyukaiku, berarti sekarang giliranku untuk menyadarkannya. Aku harus membuat Kak Vano sadar tentang perasaannya padaku. Tapi bagaimana caranya?

Aku memperhatikan Kak Revan yang sibuk menatap foto keluarga yang terpasang di dinding perbatasan dapur dan ruang keluarga. Sebuah ide gila muncul di kepalaku.

Tidak, aku tidak mungkin melakukannya. Tapi bagaimana kalau berhasil? Yah, apa salahnya mencoba? Tapi... ayolah rea!

"Kak Revan mau bantuin Rea nggak?" Akhirnya terucap juga.

Kak Revan menatapku heran, "Bantuin apa?" tanyanya.

Aku menelan ludah, ketakutan. "Bantuin Rea bikin Kak Vano sadar sama perasaannya ke aku." Gumamku sembari menekan rasa gengsiku serendah-rendahnya.

Aku harus berhasil. Karena kalau tidak, maka selamanya kami akan terjebak dalam zona ini. Ah, harus dinamakan zona apa keadaan kami ini? Familyzone?

*


Luthfia_AF

Promise SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang