Prolog

81 14 4
                                    

suara jam dinding terdengar keras di ruangan bernuansa putih dengan bau obat-obatan yang menyengat. seakan membenarkan kesunyian tersebut terasa berat. semilir angin yang lewat di celah jendela yang sengaja di buka setengah membuat kicauan burung samar terdengar membuat seorang wanita yang telah dipenuhi alat medis di atas brangkar perlahan membuka matanya.

 di sana, di sudut ruangan terdapat sepasang kaki yang tengah disanggah oleh meja kecil, rambut hitam legam yang mulai memanjang juga sebatang rokok yang terhimpit di antara bibir. kedua netranya terus menatap ke depat tepat dimana seorang wanita paruh baya tengah berbaring dengan lemah. bibirnya tersenyum kecut diikuti dengan kakinya yang melai menopang tubuhnya berjalan mendekat ke arah brangkar

"hanya sampai sini sajakah yang anda mampu ?"

 wanita itu tak menjawab, meski bibirnya bergerak namun tak ada suara yang terdengar. air mata lah yang akhirnya terjatuh membuat tawa kecil dengan suara samar terdengar dari pria yang kini berdiri menjulang di hadapannya.

"ku kira kau sudah tak bisa menangis lagi, sekarang apa..kau menyesal?"

pria itu mengusap wajahnya kasar, ia menatap jendela yang memperlihatkan suasana sejuk dari pepohonan yang bergerak lembut. netranya bergetar namun terkesan tajam, ia berbalik menundukkan wajahnya hingga beberapa senti 

"aku bukan lagi anak lemah yang bisa kau manipulasi  ibu... aku sudah muak dengan tingkahmu yang sangat luar biasa, tapi kenapa setelah semuanya terbongkar kau malah tak berdaya seperti ini"

pria itu tersenyum getir, terlihat jelas betapa banyak luka yang ia genggam hingga kini. wanita itu hanya menggeleng pelan tangisnya semakin banyak menciptakan bulir air namun tetap tak ada suara.

"padahal aku belum membalasnya, tapi kenapa kau sudah seperti ini. seakan kau mencoba melarikan diri dari apa yang telah kau lakukan padaku..." pria itu menunduk dengan cukup lama

"aku belum rela kau pergi dengan begitu mudah" air mata menetes dari kedua matanya, sakit hati yang tahan nampaknya sulit ia tahan sekarang membuat wanita di brangkar sedikit terkejut namun kembali memasang wajah sedih, ia terbatuk pelan.

"sekarang katakan... apa pesan terakhir mu"

 seakan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, pria itu menarik kursi duduk menghadap ke arah sang ibu. tak ada tanda ia bersedih atau sejenisnya. hanya ada senyuman kecil yang terlihat meremehkan sekarang. meski begitu sang ibu tetap memasang wajah tanpa makna. dengan mata yang tak lepas dari wajah putranya.

dengan pelan dan susah payah ia akhirnya mengangkat tangannya, bergerak kearah wajah sang anak dengan sedikit getaran kecil. pria itu, ia tak menolak saat tangan yang terasa dingin itu melai hinggap diwajahnya. sekuat tenaga ia bertahan dengan wajah yang mulai keruh, bahkan sebelah tangannya telah menepal dengan sangat kuat.

senyuman kecil akhirnya terbit dari wajah kurus tanpa binar itu, bibir yang tadi hanya mengatup akhirnya mulai bergerak lagi tetapi kini mulai terdengar suara samar.

"hah...sekarang kau baru bisa bersuara ternyata"

dengan sekuat usaha yang ia kumpulkan, wanita itu terus berusaha untuk mengeluarkan suara lebih kuat. tangannya masih setia bertengger di wajah tampan putranya. dalam bayangan samar ia melihat wajah itu yang terlihat lebih mungil dari sekarang tengah terseyum sambil memanggil namanya. entahlah, ia juga tidak tahun mengapa semua akhirnya menjadi seperti ini. dan ia tak bisa memungkiri jika semua ini masih ada hubungan dengan dirinya.

"ba...ha..gia..lah"

akhirnya, satu kata itu terucap, meski setelahnya batuk yang beriringan terdengar membuat ruangan berdengung. pria itu terkejut dengan panik menekan tombol darurat dan kemudian menggenggam tangan yang semakin lemah itu. ia terus memaki bahkan tak menghiraukan betapa kacau reaksinya sekarang. ia tak tahu apa yang terjadi setelahnya namun satu hal yang ia tahu, ibunya sekarang telah meninggalkannya...


RAFIKABDITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang