Prolog.

133 62 74
                                    

Ada dering telepon genggam yang tak kunjung redam, lantunan lagu kekinian terus berulang dalam kamar. Kamaniya Bening membalikkan badannya. Sambil meraba sekitaran bantal, gadis 24 tahun itu menggerutu mencari Hp-nya.

"Padahal hari libur, kenapa tidak ada yang ikhlas aku bangun siang sih? Bisa-bisanya telpon sembarangan seperti ini!" bibir tipisnya mengkerut.

Ia memaksa tubuhnya duduk bersandar diatas kasur, mengangkat telepon yang membuatnya gemas sedari tadi. Belum sempat ia berkata 'halo' sebagai salam umum ketika mengangkat telepon, terdengar suara setengah berteriak dari seberang.

"Beninggg! Lama banget sih ngangkatnya! Aku sampai kering nih! Udah siap belum? Aku udah reservasi Cafe Serimpi loh, Bagas juga udah siap!" ucap Nala tanpa jeda.

Bening segera mengenali siapa dan apa tujuannya ditelepon oleh pemilik suara nyaring ini. Dengan suara serak karena baru bangun, Bening menjawab "Astaga Naurah Laksmi! Bulat benar niatmu mencomblangkan aku dengan sepupumu. Apa tidak bisa kita undur saja? Aku kan baru bangun tidur, lagian Bagas tidak akan tertarik padaku. Daripada saling kecewa lebih baik tidak sama sekali kan?".

Gemas pada jawaban karibnya, Nala meninggikan suara "Enak saja mundur-mundurin janji, udah jangan banyak alasan, mandi sekarang! Aku otw jemput kamu nih! Inget ya Bagas ini sepupu aku ning, tingkah dan penampilanmu harus manis kali ini!". Telepon terputus.

Berkali-kali menggelengkan kepala, Bening menghela napas panjang, pasrah menghadapi paksaan Nala. Gugur sudah keinginannya untuk rebahan seharian. Padahal selain hari Minggu, tidak ada kata santai dalam kamus hidup Bening. Menjalani pekerjaan sekaligus mencoba peruntungan usaha, tidak pernah membiarkan Bening longgar untuk bermalas-malasan. Mulai dari profesi apoteker disebuah Rumah Sakit Swasta yang seringkali menuntutnya dapat dihubungi 24 jam, hingga merintis usaha katering sehat dirumah, dilakoninya dengan begitu padat. Bening benar-benar sosok wanita muda millenial yang bersikeras melakukan semua hal sendirian. Berbekal rumah peninggalan mendiang Ibunya di Jawa Barat, Bening merantau sendirian meninggalkan Ayah dan kakak perempuannya di kota Denpasar.

Mengumpulkan sebagian nyawanya yang tidak ikhlas untuk beranjak, Bening akhirnya bersiap-siap. Setelah mandi, dibukanya lebar pintu lemari bajunya, "Argh! Kenapa harus ketemuan sih? Aku harus pakai apa sekarang? Terlalu santai nanti Nala bilang aku tidak menghargainya, terlalu feminin nanti aku risih sendiri ditengah jalan. Ah ya sudah pakai ini saja!".

Diambilnya celana skinny jeans biru panjang dan casual blouse putih dengan detail gambar bunga kecil. Bening berdandan secepat mungkin, ia tahu Nala akan mengomelinya lagi kalau Bening tidak segera menunggunya dibawah. Dering HP-nya terdengar lagi, diangkatnya segera setelah ia mengancing celananya.

"Ya Nala? Ini udah kelar, aku ambil tas dan pakai heels sebentar lalu turun" kata Bening secepat kilat sebelum ditanyai Nala.

"Lihat siapa yang tanggap disini, sepertinya kamu sudah melihat foto Bagas yang ku kirim diWA ya? Apa ku bilang, kamu pasti akan menyukai Bagas! Bagus, cepat turun, aku sudah dibawah!" balas Nala, lagi-lagi langsung menutup telepon.

Bening mengambil tas kecil dan kitten heelsnya didalam lemari sambil membuka chat Nala, "Sudah lihat foto Bagas dijidatnya? Aku saja baru pegang HP saat dia telepon kok, kayaknya syndrome mak comblangnya kumat menggebu-gebu lagi, hahh! semoga tidak terlalu merepotkan nanti".

Tanpa basa-basi mobil merah milik Nala melenggang menyusuri aspal kota, diliriknya Bening lalu dia tersenyum. "Nah gini kan sedap dipandang, coba dari kemarin seperti ini, aku kan nggak perlu repot mencarikan kandidat pangeranmu selanjutnya. Bening ingat ya jangan mengacau lagi kali ini, kalau terjadi lagi, aku menyerah", mata Nala melirik tajam sosok Bening yang daritadi diam.

MelajuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang