Terbiasa.

40 26 54
                                    

Bening berguling kekanan dan kekiri diatas tempat tidurnya. Kakinya berulang kali menendang selimutnya. Ia gelisah, tidak bisa tidur. Semakin Ia mendengar bunyi jarum jam berdetik, semakin dirinya diburu pikirannya sendiri. Bening mulai panik, ketakutannya menjalar tanpa jeda disekujur tubuhnya. Ia teringat bagaimana saat pertama kalinya Ia mencintai seseorang dengan semua yang Ia punya, Ia justru dicampakkan tanpa penjelasan. Dan menyisakan kekalutan trauma yang besar untuknya.

Usia Bening 17 tahun kala itu, bertemu dengan sosok pria dewasa yang terpaut 4 tahun dengannya. Benar, pujaannya berusia 21 tahun, sebut saja Joe. Mereka bertemu disalah satu tempat bimbingan belajar di Denpasar. Joe adalah asisten pengajar disana dan Bening tentu saja murid disana. Ia tidak terlalu tinggi, namun penampilannya sangat rapi. Joe, asisten pengajar yang cukup populer. Ia ramah, sabar, dan murah senyum. Singkat cerita, Joe tertarik pada Bening. Joe memberanikan diri mendekati Bening sampai akhirnya mereka resmi berpacaran. Mereka berdua tampak sangat serasi dan romantis. Menjalin hubungan selama kurang lebih 3 tahun. Bukan berarti mereka selalu harmonis, seperti hubungan kebanyakan tentu selalu ada pertengkaran didalamnya.

Melihat seringnya Bening menangis, Ibunya semakin lama semakin tidak menyukai Joe. Ditambah lagi beberapa kali Ibu Bening melihat tangan dan kaki anak gadisnya memar tanpa sebab yang masuk akal. Ibu Bening mulai menentang hubungan mereka, berharap anaknya segera berpisah dari Joe karena semakin lama perasaannya semakin yakin bahwa Joe tidaklah pantas untuk anaknya. Namun Bening tegas menolak nasehat Ibunya, seringkali Bening adu mulut dengan Ibunya. Bagi Bening, perilaku abussive fisik maupun verbal yang dilakukan Joe adalah hal wajar karena Bening berulangkali mengecewakannya.

Ia angkuh mempertahankan hubungannya. Sampai dilihatnya Joe berselingkuh dan memutuskan hubungan itu tanpa penjelasan. Satu-satunya yang dikatakan Joe hanya, "Kemana saja kamu selama ini? Harusnya kamu tahu bahwa hubungan kita sudah lama berakhir. Kamu yang naif!". Kejadian itu menghancurkan Bening. Ia meracau tak karuan dirumah. Pikirnya selalu menuntut penjelasan tentang bagian mana yang salah dari dirinya yang sudah begitu berjuang mempertahankan hubungan itu.

Tak lama, riwayat sakit ginjal Ibunya menjadi parah dan mengharuskan Ibunya dirawat di rumah sakit. Beberapa kali mengalami fase kritis hingga akhirnya berpulang untuk tak kembali. Bening dalam keadaan emosional yang tidak stabil, lagi-lagi dihantam kenyataan bahwa Ia harus kehilangan Ibunya. Yang paling menyakitkan adalah Ia belum sempat mengucap maaf pada Ibunya setelah bertahun-tahun adu mulut dan membangkang pada Ibunya perihal hubungannya dengan Joe.

Bening kalut. Ia terus menerus mengacau dirinya sendiri. Membuat Ayah dan Kakaknya semakin mengkhawatirkan keadaannya. Akhirnya Bening dipaksa Kakaknya untuk konseling pada psikiater. Sekejap Ia berubah dari sosok periang menjadi gadis dengan gangguan kesehatan mental. Ia dijadwalkan untuk mengkonsumsi obat juga konsultasi dan terapi rutin. Dan semuanya itu dijalaninya selama 2 tahun di Denpasar. Ia bersusah payah mendapati dirinya lagi. Hingga Ia mulai lebih bisa mengkontrol emosinya. Tentu belum stabil 100%, tapi ini semua jauh lebih baik dari sebelumnya.

Setelah dirasa Ia mampu bertanggungjawab lagi atas emosional dan keseluruhan dirinya, Bening menyampaikan keinginannya pada Ayah dan Kakaknya untuk pergi merantau. Ia ingin memulai hidup baru di kota Bandung, tempat kelahiran mendiang Ibunya. Ia berjanji akan baik-baik saja juga akan merawat rumah peninggalan Ibunya disana. Berminggu-minggu meyakinkan Ayah dan Kakaknya, akhirnya Bening mengantongi izin yang diinginkannya. Setelah matang segala persiapannya, Bening terbang ke Bandung dengan banyak harapan baru dalam genggamannya.

Bening memaksa dirinya duduk diatas kasur. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dipeluknya kedua bahunya sendiri, dielus lembut kepalanya sendiri. Dalam hati Ia berkata berulang-ulang "Aku akan baik-baik saja, yang aku pikirkan sudah berlalu. Aku sudah memaafkan semuanya, dan Ibu pasti sudah memaafkan aku". Sesekali Ia melirik laci meja riasnya, tapi Ia mengurungkan niatnya kesana. Ia menahan diri agar tidak sampai mengkonsumsi obat lagi. Ia harus menang dari pikirannya sendiri. Oh, seandainya ada Nala, Ia pasti segera menelepon Nala. Nala selalu tahu cara efektif membuat Bening tenang, Ia selalu menyanyikan lagu Stay With Me (by: Sam Smith), untuk mengingatkan Bening bahwa setidaknya Bening harus tetap hidup dan ada dengannya tak peduli betapa beratnya melawan pikiran negatif yang menyerang Bening.

Bening menangis dalam diam hingga mulai mengantuk. Saat hampir tertidur, HPnya berbunyi. Bagas meneleponnya, "Ning, udah tidur?".

"Hampir Gas, ada apa?" suara Bening serak, nafasnya masih tersengal.

Seperti mendapat firasat tepat, sedari tadi Bagas risau memikirkan Bening. "Mau berbagi sesuatu denganku Ning? Aku ada disini untuk mendengarkan", Bagas segera melembutkan suaranya, sadar ada sesuatu dengan Bening.

"Gas, kau tahu kenapa Nala sangat penting untukku dan kenapa kami sangat berlebihan dalam hal saling mengkhawatirkan? Itu karena trauma kami begitu mirip perihal suatu hubungan. Pembedanya hanyalah dalam versiku, aku mengenal luka karena hubunganku pribadi yang mengecewakan Ibuku. Sedangkan Nala, kecewanya hadir karena perpisahan orangtuanya yang masih saja membekas. Walaupun Ibunya kini hidup bahagia dengan Ayah tirinya. Tapi kekerasan yang dilakukan Ayah kandungnya dulu masih membuatnya ketakutan. Dan mimpi buruk kami ini masih terus menghantui, seperti malam ini" Bening bercerita, lagi-lagi Ia terisak.

Bagas menghela nafas panjang, "Terimakasih Ning, kamu mau membagi mimpi buruk itu denganku malam ini. Aku sangat mengerti luka kalian. Maaf aku tidak disana saat kalian menghadapinya. Tapi aku bersyukur karena kalian begitu kuat dalam bertahan. Dan begitu berani untuk kembali pulih. Bahkan aku sangat bangga pada Nala, Ia mampu membuka hatinya dan menaruh percaya pada Keenan. Ning, sama seperti Nala, aku ingin kamu semakin sembuh, sampai tiba harinya kamu membuka hatimu lagi. Tidak semua pria brengsek begitu. Ning, percaya padaku, aku akan menemanimu sampai kamu benar-benar sembuh".

"Terimakasih Gas, aku beruntung sekali bisa mengenalmu. Maaf kalau aku akan semakin merepotkan kamu nantinya", jawab Bening lirih.

"Sudah tugasku direpotkan kamu Bening, kamu tidak perlu sungkan. Sekarang tidur dan beristirahatlah. Malam ini kamu sudah menghadapi mimpi burukmu dengan sangat baik", Bagas mematikan teleponnya.

Sebelum benar-benar terlelap, Bening memanjatkan rasa syukurnya atas Bagas. Ia tahu bahwa Bagas tulus menemaninya sama seperti yang dilakukan Nala. Bening berharap Ia tak terlalu membuat Bagas kewalahan dengan semua yang ada pada dirinya. Bersahabat dengan pria, belum pernah dilakukannya. Tapi Bening berharap dengan rasa nyaman yang terbiasa diberikan Bagas padanya, Ia dapat semakin sembuh dan suatu saat dapat mempercayai seorang pria lagi.

Disisi yang lain, Bagas membayangkan wajah sendu Bening. Ia sadar bahwa wanita ayu yang mulai semakin dicintainya belum mampu memandangnya sebagai seorang pria sepenuhnya. Bagi Bening, kehadirannya masih sebagai pengganti Nala. Tapi itu cukup baginya saat ini. Ia yakin suatu saat Bening bisa merasakan cintanya dengan baik tanpa harus terburu-buru dan memaksa Bening. Semesta akan membantunya membuktikan pada Bening bahwa ada pria yang bersedia menepati untuk selalu membuat Bening tersenyum apapun yang terjadi.

Bagas tidak berhenti memikirkan Bening malam itu. Rasanya ingin sekali Ia menghampiri Bening dan menemaninya langsung. Ia ingin jadi sandar yang selalu diraih Bening ketika dunia terlalu keras mengguncang layar perjalanan hidup Bening. Ia ingin menjadi hibur dalam setiap duka yang meneteskan air mata Bening. Dan yang terutama, Bagas ingin Bening menerimanya sebagai pria utuh yang selalu bisa diandalkan Bening dalam keadaan apapun. Menjadi sosok yang lebih dari sekedar teman pengganti Nala.

MelajuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang