Bagas bangun lebih pagi dari biasanya, Ia mengkhawatirkan Bening semalaman penuh. Keningnya berkerut. Berkali-kali Ia tuang kegelisahannya menjadi barisan tanda tanya pada text box Whatsapp kontak Bening, tapi dihapusnya. Berlebihankah kalau Ia mengkhawatirkan Bening seperti ini? Ia takut sikapnya akan membuat Bening menilainya salah dan menjauh darinya. Tapi tak sampai 30 menit ternyata rasa cemasnya membuat dia justru menelepon Bening saat itu juga.
Dering nada sambung terdengar ditelinga kanannya. Menunggu beberapa saat sampai akhirnya suara yang ditunggunya terdengar, "Pagi Gas, tumben?". "Hei, pagi Ning. Iya nih, khawatir. Gimana tidurnya, aman?" sahut Bagas to the point. "Duh mau ketawa tapi suara masih serak, ntar aku malah keselek. Aman kok Gas, makasih ya. Kamu tidur kan semalem?" Bening bertanya sambil mengumpulkan kesadarannya. "Syukur deh. Aku tidur sih tapi..... ya gitu deh, haha. Yaudah kamu ngumpulin nyawa dulu deh, abis itu mandi ya Ning. Ntar aku anterin bubur ayam buat sarapan", jawab Bagas sebelum mereka sepakat untuk menyudahi telepon. Ada perasaan lega yang disyukuri Bagas dengan sungguh, Ia berdeham lalu tersenyum sendirian.
Bening yang sudah lebih sadar dari sebelumnya, kini terduduk didepan cermin meja riasnya. "Nah, kalau Nala pasti tak selembut itu meski Ia mengkhawatirkan aku, haha. Ning, kamu beruntung sekali dipertemukan teman-teman yang begitu tulus mendampingi kamu untuk sembuh. Jangan buat mereka kecewa ya. Sembuhlah meski sedikit lebih lambat dari orang kebanyakan", ucap Bening sambil memandangi kedua bola matanya dicermin. Ada tembok batasan yang mulai terkikis, Ia sadar sedikit demi sedikit rasa percayanya tersemai untuk Bagas.
Bening berdiri menuju kamar mandi, Ia membasuh wajahnya dengan air dan sabun muka. Setelah merasa lebih siap berhadapan dengan dingin, Ia mandi. Tak lama, Ia menunggu Bagas diruang tamu rumahnya sambil minum segelas teh manis. Kadangkala Ia sangat menikmati denting jarum jam dirumahnya berbunyi nyaring. 'Aku masih berpijak dan belum hilang' begitu pikirnya. Namun sama seperti malam kemarin, Ia bisa sangat membenci jam dinding beserta seluruh komponen yang membuatnya bersuara. 'Dikejar waktu, dihantui masa lalu. Apa memang harus lenyap?' Seperti itu kalutnya bila ketakutan itu menyergapnya kembali. Tapi pagi ini, pikirannya sedang fokus pada rasa syukur bahwa benar Ia masih ada. Belum saatnya untuk kalah pada isi kepalanya sendiri. Dan Ia sadar benar kalau keberuntungannya tak luput dari ketulusan teman-temannya. Ia bergumam sendiri dalam hati sembari tersenyum, 'Terimakasih semesta'.
Ada bunyi klakson yang memang disengaja didepan gerbang rumahnya. Bening hafal itu bunyi klakson mobil milik Bagas. Ia segera membuka gerbang rumahnya. Mobil Bagas masuk di halaman rumahnya dengan rapi. Bagas turun membawa paper bag berisi bubur ayam yang dijanjikannya ditelepon pagi tadi. "Wiihh rapi banget sih yang nungguin bubur ayam, ngapain nih tangannya? Haha", goda Bagas melihat Bening mengulurkan tangannya. "Iya dong, buat yang gratis gini emang harus lebih rapi, siapa tau siangnya ditraktir lagi, haha", jawab Bening berusaha mengintip bubur ayamnya. "Gak boleh ngintip Ning, ntar buburnya jadi gak enak. Ini ceritanya mau makan diluar nih? Kok aku gak disuruh masuk?", Bagas gemas melihat Bening yang antusias dengan sarapan yang dibawakannya. "Ngintipnya dikit doang kok, ya udah yuk masuk, laper nih", kata Bening sambil lalu melewati Bagas, Ia segera beralih ke dapur mempersiapkan alat makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melaju
Teen FictionBening tidak pernah menyangka bahwa aplikasi yang disarankan temannya bisa mengantarnya pada rasa kagum dan tekad bulat untuk bertemu Samudera. Sosok dingin yang selalu membuatnya takut menyapa lebih dulu, tapi menyemai candu dalam benaknya. Tapi it...