Kau percaya dengan mitologi aneh itu?
Tentang sihir, kepercayaan, keagungan, kejayaan, kekuasaan, dan kecantikan?
Sesungguhnya aku tidak ingin percaya, pada hal mistis yang tidak dapat dijelaskan keasliannya, Tidak sama sekali sampai kenyataan memberiku luka, aku bukan lagi diriku.
•••
"Oh, Hermione! dari mana saja kau, dear?"
Molly memelukku erat begitu aku sampai dan menginjakkan kaki pada ubin lantai dapur, keluar dari perapian milik mereka yang mulai usang, Ginny berdiri disampingnya menyambut ku dengan senyuman hangat. Gadis itu sudah lebih dari sekedar teman. Aku menganggapnya adik jauh sebelum akhirnya aku memutuskan bergabung bersama keluarga ini dan menjadi anak angkat Molly dan Arthur, aku memeluknya santai dan membuatnya nyaman dengan dekapan ringan, sedikit tekanan di bagian belakang.
"Aku terlalu banyak terjebak dengan dokumen dari paman Mike tentang keuangan." Jujur ku pada mereka yang jelas saja di terima dengan baik oleh nya.
Wanita gemuk dengan rambut ikal pendek kemerahan itu mengangguk tergesa-gesa sembari menyambar tas tangannya di atas meja, menggiring semua anggota keluarga nya yang tersisa di rumah berjalan menuju jaringan floo yang sebelumnya telah ku pakai dan menggunakan nya secara bergantian.
Aku bergegas mengejar ketertinggalan dengan sedikit mengangkat rok ku yang mengekang erat menghambat pergerakan. Aku mendecak, jika saja ini bukan acara perayaan promosi Harry, sahabat yang ku anggap sebagai saudara laki-laki ku selain Ron, jelas aku akan lebih memilih berkecimpung dengan tumpukan dokumen perihal keuangan perusahaan farmasi milik orang tua ku yang kini dikelola oleh paman tunggal ku. Itu lebih menyenangkan dibanding terkurung dengan gaun malam menyebalkan dengan para orang tua penjilat yang memenuhi ruangan.
Aku menghela napas begitu kaki ku berpijak pada sebuah ubin berwarna putih dari sebelumnya ubin lusuh kecoklatan khas keluarga Weasley dan mendapati bahwa kini ruangan sudah penuh dengan berbagai macam orang yang berlalu lalang dengan pakaian terbaik mereka, berebut jalan demi mencapai tujuan masing-masing satu sama lain.
Aku melongokkan kepala ku untuk mencari keluarga ku dengan kepala merahnya dan mendapati bahwa mereka sudah ada jauh di depan sana, menghampiri si pusat perhatian, menyalaminya dengan erat dan Ginny mendampingi pria dengan rambut acak-acakan sulit diatur itu dengan berdiri disampingnya.
Aku makin mempercepat langkah ketika tau bahwa tujuan ku ada di depan sana, hampir saja tinggal beberapa langkah ketika tiba-tiba seorang pria yang entah muncul dari mana tepatnya, menghadang ku dengan postur tingginya, tersenyum lebar dengan congkak nya. Sebuah whisky api berada dalam genggaman tangan kirinya.
Aku mengernyit, mencoba mengingat apa kami pernah bertemu pandang atau saling mengenal tapi sekeras apapun aku berusaha, dia benar-benar asing bagi iris dan memori ku.
"Permisi? Kau menghalangi jalan ku." Kataku akhirnya ketika dia nampak menghalangi jalan ku dan memblokade tiap pergerakan ku yang berusaha menemukan jalan longgar untuk tujuan ku.
Pria Itu justru tersenyum makin lebar dari sebelumnya, mengirimkan sinyal kengerian pada tiap tulang rusuk ku membuat ku menggigil seketika dengan setiap deretan tatapan nya yang seolah-olah meneliti tiap inci tubuh ku yang dibalut dress berwarna moccha.
"Jika kau tidak memiliki kepentingan dengan ku, bisa kah kau memberiku jalan?" Aku memberanikan diri mendongak padanya, menelisik ke seluruh penjuru ruangan dan menyadari bahwa kami akhirnya menjadi pusat perhatian.
Aku mendecakkan lidah pada langit-langit mulut ku sendiri, rumor tentang ku bahwa aku adalah seorang Veela, itu pun sudah cukup membuatku menarik perhatian lebih dari seharusnya dan aku benci menjadi populer. Aku berniat tenggelam dalam keramaian dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak mencuri perhatian, tapi pria asing yang entah apa tujuannya justru muncul dihadapan ku dan sukses membuat kami menjadi tontonan karena penasaran apa yang sebenarnya kami perdebatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Granger Of Veela 2.0 (Dramione)
FanfictionFrustasi Hermione yang berasal dari beban takdir baru nya serta depresi yang Draco rasa karena kutukan pengkhianatan nya, mempertemukan mereka di ujung keputus asaan yang membuat mereka menemukan jalan mereka untuk bahagia, meski nyatanya hanya seme...