"Clovis."
Pemuda yang tampak sedang berbincang serius dengan seseorang itu menolehkan kepalanya.
Mengakhiri obrolan, kemudian mendekati Cyra yang baru saja memanggil dirinya."Lo ngapain disini?" tanya nya dengan sedikit was-was pasalnya di warung ini mayoritas terisi oleh cowok Cendekia, kecuali pemilik warung--Bu Kori dan anaknya, Anisa yang kini sedang pergi membeli galon.
"Nih, mau balikin jaket," katanya sambil menyodorkan sweater abu itu.
"Kan bisa di kelas Cyraa," ujar Clovis saat menerima sweaternya.
"Takut lupa."
Clovis menghela napas. "Yaudah, balik sono," perintahnya seraya membalikkan tubuh Cyra dan mendorongnya pelan.
"Ihh kenapa sih," gerutu Cyra tak urung juga menuruti perintah Clovis.
Sepeninggalan Cyra yang sejak tadi menjadi pusat perhatian para cowok di warung ini, Clovis kembali duduk di kursinya.
"Wohoo siapa tuh? Gebetan baru?"
"Cakep juga, kenalin lah Vi."
"Dia Cyra anak Ipa 3 bukan sih?
Dan masih banyak lagi lontaran pertanyaan tak berfaedah yang diucapkan teman-temannya dan tentunya tak ia hiraukan.
"Apasih elah, orang cuma balikin jaket doang," kesal Clovis.
Lelaki itu kemudian mengangkat kaki kanannya keatas kaki kiri. Di depannya sudah ada kopi hitam dan beberapa makanan lain.
Sejak jam olahraga berakhir, ia memang memutuskan untuk keluar dari lingkup sekolah. Warung Bu Kori yang terletak di samping gerbang belakang sekolah adalah pilihannya. Tempat strategis para siswa bengis untuk membolos. Para guru yang tak pernah berpatroli ke belakang sekolah membuat mereka semakin bebas untuk keluar masuk serasa sekolah milik bapak sendiri. Tak hanya itu, warung Bu Kori biasanya juga mereka gunakan untuk menyelundupkan barang 'haram' versi anak sekolah, yaitu rokok.
Sambil menunggu bel masuk yang sebentar lagi akan berbunyi, Clovis memilih untuk membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan masuk.
Di lockscreen bertema gelap itu terdapat pop up WhatsApp yang telah dikirim dari satu jam yang lalu.
+628219...
nyokap lo ada sama gueTak menggubris, Clovis memilih untuk memasukkan ponselnya kedalam saku dan beranjak untuk kembali ke sekolah. Saat melewati parkiran guru, matanya tak sengaja menangkap dua sosok orang yang ia kenali sedang berbincang dibawah pohon.
"Gak ada malunya jadi cewe." Clovis kemudian melanjutkan langkahnya. Di sepanjang koridor, para siswa laki-laki dan perempuan saling berlomba untuk menyapa dirinya. Clovis membalas sapaan mereka dengan senyuman atau lambaian tangan saat mereka memanggil namanya.
Dan sampailah Clovis di depan kelas, berkenaan dengan bel masuk yang berbunyi.
"Darimana lo?" Tanya Khaizan. Cowok itu baru saja menyelesaikan tugasnya untuk menagih hutang teman-temannya.
"Biasa," ujarnya.
"Bayar kas! Duit banyak bayar kas lima ribu aja kaya disuruh bayar utang negara," omel Khaizan kepada Clovis.
Cowok itu terkekeh kecil, dikeluarkannya uang lima puluh ribuan dari sakunya.
"Nih, buat bulan depan sekalian."
"Bulan depan mbahmu, ini mah buat ngelunasin kas bulan kemarin masih kurang," kesal Khaizan sambil mencatat di buku kas bersampul hijau itu.
Clovis terbahak, "masih kurang berapa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending
Teen FictionIni kisah Clovis, si atlet taekwondo di SMA Cendekia. Seperti remaja kebanyakan, hidupnya juga tak jauh dari kenakalan. Kehilangan sosok ibu sejak belia dan kurangnya perhatian dari sang ayah yang selalu sibuk bekerja membuat ia tubuh menjadi sosok...