BAB 5

611 60 10
                                    

Jihoon tersenyum lembut.

Lengan kirinya sibuk dijadikan bantal kepala si tunggal dari Keluarga Kwon sementara lengan kanannya mendekap erat tubuh telanjang Soonyoung yang tertidur pulas dalam balutan selimut sewarna langit malam—si tunggal Kwon tidur dengan memunggungi Lee Jihoon. Menjamu Jihoon dengan pemandangan berupa ceruk leher yang kini dihiasi beberapa jejak kemerahan—Jihoon ragu Soonyoung bakal bisa menyembunyikannya dengan dua-tiga plester berukuran sedang.

'Aku gagal menahan diri,' ungkap sebagian dirinya yang—dengan tanpa rasa malu—merasa puas.

Jihoon terkekeh pelan. Sesekali terlihat berusaha menyingkirkan anak rambut yang menggelitik wajah sang kekasih—kalau ia tak hati-hati, Soonyoung mungkin bakal merengut dalam tidurnya seraya menggumamkan beberapa kalimat tak utuh.

"Harusnya aku menemukanmu sedikit lebih cepat," bisiknya seolah gagal untuk percaya.

Bahkan dalam imajinasi terliarnya sekalipun, Lee Jihoon—Nam Jihoon tak pernah membayangkan bahwa dirinya bakal berada di posisinya sekarang ini.

Jangankan untuk sekadar membayangkan, bermimpi untuk bisa menjadi seorang 'Nam Jihoon' saja ... ia sedikit segan untuk melakukannya.

Tapi tidak untuk sekarang.

Ada terlalu banyak keajaiban yang terjadi dalam hidupnya—bahkan meskipun ia kembali mendapatkan salah satunya, Jihoon biasanya takkan dibuat terlalu terkejut.

Harusnya.

Dan Kwon Soonyoung—namja asing yang ditemuinya di sebuah kelab malam, tepat sebelum debut pentingnya sebagai seorang Nam ... rupanya berhasil membuatnya kembali terpukau dalam serangkaian keajaiban yang diciptakan sang lingkaran takdir.

"Haraboji pasti senang—aku yakin dia bakal memaksamu untuk segera menemuinya," kekehnya seraya membayangkan raut wajah sosok yang telah membesarkannya selama dua puluh tahun terakhir.

Si bungsu Nam lantas kembali tenggelam dalam pemandangan yang menjamu penglihatannya sejak setengah jam yang lalu—kalau bisa, Jihoon bahkan berniat untuk mengabadikannya. Membingkainya jadi pigura dan menyimpannya.

Tapi aku harus meminta izin Soonyoung untuk it—

Jihoon terperanjat. Ponselnya mendadak bergetar dari atas permukaan nakas. Memaksanya untuk berguling ke satu sisi—membuat tubuhnya telentang sementara satu lengannya berusaha meraih ponselnya dengan hati-hati, lantaran tak ingin membangunkan sang pujaan yang masih terlelap dengan nyaman.

"Cheol-hyung?" Gumamnya begitu melihat nama yang tertera di bagian layar.

Gerutuan Choi Seungcheol lantas bersambut di kedipan berikutnya, begitu Jihoon selesai menggeser ikon berwarna hijau yang terletak di sudut kanan bawah layar ponselnya.

"Ne, Hyung?" Sapa Jihoon dengan separuh kekehan.

Sebagian besar karena kelakuan Choi—Nam Seungcheol. Dan sisanya ... mungkin hanya karena ia terlalu bahagia.

"Wah ... kau kedengarannya benar-benar bahagia," goda Seungcheol yang mendadak bisa membaca pikiran sang dongsaeng. "Aku cemburu padamu, Jihoonie."

"Kata orang yang lebih dulu sampai di apartemen dan meniduri Yoon Jeonghan," Jihoon lantas mendengus geli. "Apa Jeonghan-hyung bangun? Itu sebabnya kau menggerutu?"

"Mm-hm—kami baru memesan take-out tadi. Jadi sekarang, Hanie menelantarkanku dan sibuk dengan sarapannya," Seungcheol mendesah frustrasi. "Bagaimana dengan Soon—yaa! Yoon Jeonghan! Itu susu rasa pisang! Bukan vanil—apa dia bangun? Yaa! Yoon Jeonghaaan!!"

"Dia masih tid—"

"Aku baru bangun," potong Soonyoung separuh menguap.

Lantas membuat Jihoon menoleh seraya mengulum senyum—Soonyoung beringsut ke arah Jihoon, menempelkan satu sisi wajahnya di dekat ceruk leher sang kekasih dan menghirup aromanya lambat-lambat.

"Apa itu Seungcheol-hyung?" Tanyanya dengan lengan kiri yang menangkup di atas dada telanjang si bungsu Nam.

"Mm-hm," jawab Jihoon seraya mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala sang kekasih. "Cheol-hyung memesan take-out, dan sekarang, Jeonghan-hyung malah menelantarkannya."

"Tipikal Jeonghan-hyung," kekeh Soonyoung yang sibuk menikmati aroma sitrun yang menguar dari ceruk leher Lee Jihoon. "Pukul berapa sekarang?"

"Setengah delapan pagi—aku memesan take-out untukmu, kau bisa sarapan lebih dulu," balas Jihoon seraya berguling ke satu sisi.

Mendaratkan beberapa kecupan lembut di wajah si tunggal Kwon yang sibuk terkekeh geli.

"Mianhe—ada beberapa hal penting yang harus dibicarakan," bisiknya dengan wajah menyesal. "Aku bakal menyusulmu begitu kami—"

"Gwaenchana, Jihoonie—kita bisa membicarakannya nanti," potong Seungcheol yang sempat 'menghilang' lantaran sibuk berdebat dengan Yoon Jeonghan mengenai mana yang harus dituang lebih dulu—susu atau sereal. "Nikmati waktumu—pastikan kau tak datang terlambat atau Ailee-noona bakal menghukum kita."

"Arasseo, Hyung," kekeh Jihoon sebagai balasan. "Sampai ketemu nanti."

"Sampai ketemu nan—yaa! Yoon Jeonghan! Kenapa kau memasukkan aprikot ke dalam—ukh! Jihoonie! Kututup teleponnya, oke?!" Balas Seungcheol separuh memekik, sebelum kemudian mengakhiri sambungannya yang lantas disusul dengan bunyi 'tut' nyaring.

Jihoon terkekeh geli. Satu lengannya terlihat menjangkau nakas—menaruh ponsel hitamnya di bagian permukaan dengan sedikit usaha.

Lengan kanannya yang terbebas lantas melingkar di tubuh Kwon Soonyoung—mengusap pelan punggung telanjang sang kekasih, sebelum kemudian kembali mendaratkan beberapa kecupan di puncak kepala si tunggal dari Keluarga Kwon.

"Apa aku ... terlalu kasar? Apa aku menyakitimu tadi malam?" Tanya Jihoon khawatir, seraya menyelipkan beberapa anak rambut di belakang telinga sang kekasih.

"Tergantung," timpal Soonyoung pendek.

Mau tak mau membuat Jihoon mengerjap sebagai balasan. "Apanya yang tergan—"

Lee Jihoon tak diberi kesempatan untuk melanjutkan, saat sang kekasih lantas membungkamnya dengan sebuah ciuman. Panas dan membara—sekali lagi membuat desahan penuh gairah kembali menyelimuti setiap sudut ruangan.

Soonyoung bahkan dibuat mengerang pelan begitu dirinya memutuskan untuk memberi akses masuk pada Lee Jihoon—membiarkan lidah si bungsu Nam perlahan menjelajah ke setiap bagian yang diselimuti saliva.

Manis.

Kepala Soonyoung mulai dipenuhi kabut-kabut yang memabukkan.

Rasanya benar-benar manis.

"Kau belum ... menjawab pertanyaanku ...," bisik Jihoon separuh terengah, begitu keduanya saling melepaskan diri untuk menarik napas. "Apa aku menyakiti—"

"Apa kau menikmatinya?" Potong Soonyoung seraya mendongak—sepasang maniknya nampak berkilat lapar di bawah pendaran cahaya lampu. "Selama kau menikmatinya, Jihoon-ah ... aku takkan pernah merasa keberatan."

[HoonSoon] Perfect Date To Find MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang