Part 1

5.1K 72 3
                                    

Selamat membaca:)

Jika ada typo harap comen.


*****

Risa Pov

Sekarang aku sedang ada di kamar. Lebih tepatnya kamar yang akan aku tempati satu tahun ke depan. Ya aku di jodohin oleh ortu dengan Om-om. Bayangin aja! Aku baru umur 20 tahun harus nikah sama om om yang umurnya 29! Ya bisa di sebut Om Om juga ya kan!

"Sana jauhan!" ketusku pada om-om yang baru saja menikahiku, yang mencoba duduk mendekati.

Enak saja, aku yang masih kinyis-kinyis bak telor gulung yang baru matang, harus menikah dengan om-om yang usianya terpaut cukup jauh denganku.

"Astaghfirullah! lahaula walakuata illabillah ... jangan deket-deket, Om! Pait, pait, pait, pait!" teriakku, memejamkan mata dan menutup telinga.

"Mau beli es krim, Ris?" tanyanya. Seketika aku membuka mata, dan meliriknya sinis. Ngajakin beli es krim, harus sedekat itu? Seketika aku bergeser menjauh darinya.

Bisa-bisanya dia mau menyogokku dengan es krim! Emang aku cewek apaan? Harusnya sekalian sama cokelat, martabak keju, sosis bakar, seblak, sama cilok kuah!

Biasanya, setiap malam minggu kayak gini, aku suka nongkrong sama temen-temen. Sekarang aku malah terjebak di malam pertama sama dia.

"Jalan, yuk? Mungkin kamu butuh udara segar," ajaknya. Kayaknya dia bukan tipe yang pantang menyerah. Padahal sudah aku ketusin.

Sesaat aku berpikir. Ada benarnya juga. Kalau aku pergi keluar, pulang malam, pulang-pulang bisa langsung tidur dan ngelewatin malam ini gitu aja.

Etapi, gimana kalau dia colek-colek, atau sedikit mencicipi? Ya ampun ... jangan sampai! Pait, pait, pait.

"Kenapa? Kamu ngeliatin apa?" tanyanya, saat aku mencurigainya, menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Ngeliatin lambung sama ginjalnya Om. Nggak boleh?" sahutku asal.

Lelaki berkumis tipis itu tertawa lirih. Memang apanya yang lucu?

Kalau dilihat-lihat, dia ganteng juga. Tetap saja aku nggak cinta. Perjodohan yang menyebalkan! Bikin hati ini terpotek, terpental, terpelanting, tergelincir, dan ternodai.

"Aku mau jajan di luar." Akhirnya aku setuju. Dibandingkan harus menghadapinya di dalam kamar, lebih baik aku menghindar.

Kami berjalan keluar dari kamar. Aku menyisir pandangan, rumah segede ini dia cuma tinggal sendiri, cuma ditemani asisten rumah tangga.

"Aduh!" pekikku, saat tubuhku menabrak sesuatu yang besar.

"Duh ... kalo mau ngerem mendadak nyalain lampu sein, dong! Jadi nggak nubruk gini," kesalku padanya.

Nggak sadar body, padahal segede gaban.

"Apa jangan-jangan sengaja, biar ada gunung kembar mendarat?"

"Lagian lagi jalan matanya ke mana-mana," sahutnya, kayak nggak ada rasa berdosa sedikit pun. Padahal dia berdosa banget.

Aku berdecak kesal, lalu melenggang berjalan melewatinya begitu saja.

menikah dengan om omTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang